This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 31 Maret 2011

SAHABATKU PAK WIN



                                                                Oleh : Uniek Anandapraya

     Seandainya aku bisa, seandainya aku mampu. Aku akan berikan setiap kelebihan rezekiku. Tetapi apa daya aku hanyalah seorang pegawai rendahan golongan satu. Seorang pesuruh kantor yang berangkat kerja subuh dan pulang petang. Aku tidak bisa membantu secara penuh kepada sahabatku, pak Win.
Sedih sekali melihat kehidupan sahabatku. Akibat perusahaan tempatnya menggantung hidup, kolaps.Menyebabkan  dunia seperti kiamat. Sulit mencari pekerjaan baru meskipun sebagai juru parkir atau penjaga malam.Pak Win menambah barisan penyandang status pengangguran. Seandainya seorang bujangan mungkin tidak terlalu berat. Tapi pak Win memiliki istri dan seorang anak.
     Orang-orang memanggilnya pak Win. Entah Darwin atau Wiranto, aku tak tahu. Baru sebulan aku bersahabat dengan pak Win.Bermula setelah menempati rumah di sebelah rumahku. Rumah yang di tempati pak win belum layak di huni. Kumuh. Dari dalam rumah bisa melihat birunya langit karena atapnya bolong-bolong.
     Waktu masih bekerja, pak Win masih bisa mengontrak rumah di ujung gang dekat mesjid.Setelah berhenti bekerja, pak Win pindah ke sebelah rumahku. Rumah itu milik imam mesjid. Pak Win boleh menempatinya dengan gratis asal mau merawatnya.
Sejak pak Win menempati rumah itu, keadaannya jadi bersih.Rumput setinggi pinggang di tebas rata. Pohon melinjo, jambu biji, rambutan dan mengkudu berbuah lebat. Pak Win juga menanam pisang dan pepaya. Hasilnya di bagi dua dengan pemilik rumah. Tetapi kalau tidak panen besar atau buahnya sedikit, Pak Win boleh mengambil hasilnya semua. Biasanya, istri pak Win menjual ke pasar atau di titip di warung.
     Dulu pak Win bekerja di pabrik pengolahan kayu lapis. Mula-mula sebagai buruh pendorong kayu di bagian log deck. Karena pak Win bisa mengoperasikan computer, perusahaan menariknya ke bagian personalia. Aku tidak tahu sekolahnya. Yang kutahu, pak Win seorang perantau asal NTB. Istrinya penduduk asli kampung ini. Sebelum menikah , istri pak Win dulu bekerja di bagian core repair. Setelah punya anak memilih berhenti untuk mengurus anak.
     Hari minggu malam pak Win biasanya bertandang ke rumahku. Malam itulah malam istirahatku. Sebab di hari kerja aku pulang petang. Sepanjang malam itu kami isi dengan main catur, ngobrol dan mendengarkan lagu. Pak Win senang sekali mendengar lagu-lagu religi yang di putar istriku. Lagu yang paling disukai pak Win adalah lagu “Keagungan Tuhan”. Mimik pak Win berubah seketika mendengar lagu Keagungan Tuhan. Kata pak Win, lirik lagu ini bagus dan memiliki kenangan special.
“Aku senang menyanyi, kata pak Win.Tetapi suaraku jelek. Itu sebabnya di sekolah aku selalu tersisih. Kalau murid sekelas nyanyi bersama, guru menyuruhku diam. Aku tidak diperbolehkan ikut nyanyi. Nilai raport pun tak pernah di atas enam.
Lalu apa hubungannya dengan lagu Keagungan Tuhan ?
“Oh itu, waktu penentuan nilai akhir di sekolah. Aku berpikir keras bagaimana caranya mendongkrak nilai agar lebih dari enam. Suaraku jelek, tapi mahir baca puisi. Mengapa tidak di gabung saja ? Aku lalu menyanyikan lagu Keagungan Tuhan dengan gaya orang baca puisi, penuh pengkhayatan. Selesai menyanyi kulihat pak Wahab, wali kelasku menghapus air mata. Aku sangat terharu. Pak Wahab member nilai tujuh di pelajaran menyanyi. Aku sangat senang.”
                                                             ***
      Akhir-akhir ini pak Win jarang datang bertandang ke rumahku. Penyebabnya karena datangnya musim kemarau. Hujan tidak turun bermingu-minggu. Tanah kering berdebu. Daun-daun berguguran. Tanaman di pekarangan pak Win juga ikut meranggas.Pohon pisang dan papaya sebagai tumpuan nafkah banyak yang layu.Dampaknya, tiap hari aku sering mendengar pertengkaran kecil. Suara istri pak Win yang bernada putus asa, menambah iba perasaan. “Pak, aku capek jadi pembantu terus. Tidak adakah jalan lain merobah nasib kita ? Untuk sekedar makan mungkin kita bisa bertahan. Tetapi anak semakin besar. Makin banyak kebutuhannya. Aku malu ngutang terus sama tetangga.”
     Pak Win hanya bisa diam. Tak ada lagi kata-kata yang bisa menghibur istrinya. Posisinya memang sedang terdesak. Sebagai seorang perantau, tidak ada lagi tempatnya mengadu. Sesekali kulihat kulihat pak Win keluar rumah menggamit map. Tapi pulang dengan wajah muram. Suatu malam pak Win datang ke rumahku. Tidak untuk mengobrol atau bermain catur.tidak sudah
“Pak de, tolong beri aku pinjang sekedar untuk ongkos bus. Besok aku ke rumah teman di luar kota. Entah untuk berapa lama. Tolong lihat keadaan keluargaku.”
                                                              ***
     Sore itu aku sedang memperbaiki pagar halaman. Sejak pagi hujan lebat di sertai angin kencang turun. Sebatang pohon di seberang jalan tumbang menimpa pagar pekarangan rumahku. Seandainya pak Win ada, tentu akan ringan tangan membantuku. Tetapi sudah seminggu pak Win belum pulang. Istrinya juga sudah tidak perduli akan keberadaan pak Win.
Tiba-tiba pegawai pos bersepeda motor masuk halaman rumah pak Win. Keadaan rumah sepi. Karena tidak orang, aku menghampiri pak pos.
“Ini rumahnya pak Winarta, pak ?”
Siapa ? Pak Winarta ?
Aku mengamati selembar wesel di tangan pak pos. “Kepada Bapak Drs.Winarta.” Pengirimnya sebuah media beroplah besar ibukota. Di bawah wesel tertera kalimat singkat : “Honor atas cerpen anda yang berjudul “MENIKMATI BIRUNYA LANGIT DARI DALAM KAMARKU’.Karya berikutnya di tunggu.”Pak pos menitip wesel itu kepadaku untuk di sampaikan ke pak Win.
     Istri pak Win menerima wesel dari tanganku dengan gembira. Sambil meneteskan air mata istri pak Win bercerita kalau pak Win memang seorang sarjana sastra Prancis. Pak Win bercita-cita menjadi seorang penerjemah. Tetapi sesampai di daerah ini suratan nasib dan takdir menentukan lain. Pak Win mewanti-wanti agar gelar kesarjanaannya di rahasiakan..
     Hidup sahabatku mulai cerah. Istri dan anaknya sudah bisa membeli pakaian baru. Utang ke tetangga di lunasi. Wesel terus berdatangan. Pak Win makin jarang bertandang ke rumahku. Sebab sepanjang malam di habisi di warnet.
                                                                      ***
     Malam ini pak Win bersama istri dan anaknya datang ke rumahku. Pak Win berpakaian baru, kemeja batik lengan panjang. Di lengannya menggamit sebuah kado besar.
“Pak de, aku sekeluarga datang minta pamit.Besok pagi-pagi berangkatnya di penerbangan pertama.”
Mau ke mana pak Win ? Aku mulai gelisah.
“Ke ibukota pak de. Aku dapat panggilan bekerja sebagai redaktur dan penerjemah  di sebuah media ibukota. Semua keperluan di sediakan perusahaan.Dari tiket pesawat, perumahan beserta perlengkapannya.Terima kasih atas bantuan dan pertolongan pak de. Aku belum bisa berikan apa-apa. Cuma ini yang bisa kuberikan.”
Aku sambut bungkusan besar itu tidak bersemangat.Sebab mulai malam ini aku akan kehilangan seorang sahabat yang tidak pernah mengeluh biarpun di dera cobaan.
Kuantar langkah pak Win sampai pagar halaman. Sementara dari dalam rumah masih mengalun bait terakhir lagu “Keagungan Tuhan.”
 .. . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Siapa ingin mengabdi
Berbhakti pada Illahi
Sentosa Slama-lamanya
Di dunia dan akhir masa.
                                                             ****************
                                                                                                              Nipah Kuning, Maret 2010.  







PENELPON MISTERIUS

                                                                Oleh : Uniek Anandapraya

“Moshi moshi ……. O genki desu ka ?”
Pak Burdi tersentak dari konsentrasi ketika dering telepon mengejutkannya. Suara lembut dari seorang wanita menyapanya. Lebih terkejut lagi karena wanita itu menyapanya dengan bahasa dari negeri matahari terbit yang patah-patah.
“Apakah wanita ini tahu dia mengajar kuliah sastra Jepang?”, batinnya.
Pak Burdi menjawab seadanya : “Hai genki desu.”
“Anata wa ?”
“Aku salah seorang pengagum Oom. Gak usah kusebutkan nama.masih top secreet. Nanti sajalah.Daaag…”
Oh God, peristiwa apa lagi yang akan menimpanya? Konsentrasinya buyar seketika. Novel Bitterzoete Herinneringen, karya Anne Hampson tak jadi di baca. Novel malang itu terhempas di kasur empuk.
Pak Burdi mereka-reka si penelpon misterius. Siapakah dia? Istrinya? Tak mungkin gumamnya.Sunarti bukan type wanita yang suka cuap-cuap yang tak penting. Prinsipnya to the poin dan lebih senang tenggelam dengan angka-angka di kantornya sebagai konsultan pajak. Sebelum bertindak lebih banyak pertimbangan. Sebab itulah pengeluaran rumah tangganya selalu effisien. Hasilnya, dua anaknya sukses  mengenyam perguruan tinggi. Yang sulung Kapolsek di salah satu kecamatan di Papua.Sedang si bungsu memilih berkarier sebagai peneliti di LIPI.
                                                            ***
“Hallo Oom, sedang santai? Atau sedang di depan computer? Santai sajalah Om. Apalagi yang akan di kejar? Semua sudah di raih. Dari gelar professor termuda, dosen berprestasi sampai keluarga teladan ?”
Tiba-tiba telepon kembali berdering. Wanita misterius itu lagi. Pak Burdi semakin penasaran. Kok perempuan misterius itu tahu aktivitas kesehariannya ?
Hallo…. Hallo, anda siapa sih ! Bolehkah aku tahu nama dan tempat anda ?
“Oh, itu belum penting Oom. Mengapa terburu-buru ? Anggap saja aku mantan Oom yang sedang kangen-kangenan.
Apa ? Kangen-kangenan ? Pak Burdi makin penasaran.
“Iya. Kan Oom pernah muda. Pernah merasakan getar-getar cinta.”
     Pak Burdi menutup handle telepon.Masih terngiang kata-kata perempuan misterius itu,”getar-getar cinta.” Apakah perasaan itu masih dimiliki  sekarang? Apakah perasaan itu masih di rasakan Sunarti ?
Pak Burdi merenungi perjalanan biduk rumah tangganya. Akhir-akhir ini sering terjadi komplik kecil walaupun hanya soal sepele. Beda dengan waktu pacaran atau baru menikah. Kata-kata “say” atau “love papa” menghiasi percakapan mereka.Sunarti begitu menghormati dirinya. Cium tangan tak pernah dilupakan kalau akan berangkat kerja atau akan bepergian. Sekarang semua terasa asing. Mereka berjalan sendiri-sendiri.Kebebasan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
     Puncaknya, Sunarti meninggalkan rumah tanpa pamit. Hanya sempat berpesan kepada pembantunya, Bu Enoh dan Mang Jaja kalau kepergiannya akan mengurus rumah peninggalan orang tua.Ya, Sunarti memang pernah bercerita mendapat hadiah rumah dari orang tuanya. Tapi dulu ketika aktivitasnya sangat padat. Sampai lupa menanyakan letak perumahannya. Sekarang baru menyadari betapa pentingnya kehadiran seorang istri. Menjalani keseharian hanya ditemani bu Enoh dan Mang Jaja, terasa hambar. Mengisi kesibukan dengan berinternet ria juga membosankan. Bagaimana kalau tiba-tiba jatuh sakit.Bagaimana…….
“Hallo, …. Hallo Oom.Masih ingat aku ya Oom ?”
Suara lembut dari seberang sana membangkitkan semangatnya.Wanita misterius itu kembali mengusiknya. Pak Burdi mengangkat handle telepon dengan penuh semangat.Repleksi dari seorang yang kesepian.
Hallo…….. Hallo. Ya, saya pak Burdi. Bagaimana memanggil anda? Apakah nona, tante atau say …..?
“Terserah Oom saja lah.”
Aku panggil “say” ya, biar lebih gaul dan romantis.
“Oom?”
Ya, say …….
“Aku kangen Oom. Aku ingin membagi canda dan tawa. Biar sekat-sekat ini terobati.Aku mengagumi tulisan Oom yang bertebaran di buku dan majalah dalam dan luar negeri.Bukankah di salah satu artikel pernah Oom tulis, “Jatuh cinta adalah suatu phase yang terkuat pada perasaan cinta. Dan emosi yang hampir mendekati cinta pada waktu perkenalan pertama kali adalah keadaan alam yang sudah biasanya.”
“Sekarang  maukah oom memenuhi permintaanku ? Datanglah ke tempatku. Aku menunggumu”
“Oke say, tapi tempatmu di mana ?
“Di ujung jalan Tirtonadi, depan mini market. Rumah bercat hijau. Besok jam empat sore kutunggu. 
Ingat ya Oom? Daaaag……….”
Pak Burdi meletakkan handle telepon dengan dada berdebar. “Besok jam empat sore”, bisiknya. Terbayang wajah seorang wanita cantik dengan manja menyongsongnya, menggayut di lengannya,membimbingnya duduk di sofa. Lalu akan terdengar suara cecekikan dan engahan napas.
Pak Burdi lupa segalanya. Tak diingat lagi siaran tv yang begitu gencar menyiarkan skandal pejabat dengan gadis cantik. Sungguh ironis, martabat dan harga diri yang di bangun bertahun-tahun runtuh seketika.
Tiba-tiba pak Burdi teringat sesuatu. “Besok ultahku”, gumamnya.Terus pak Burdi bernostalgia di ultah tahun-tahun kemarin.Telpon dan handphone akan berdering sepanjang hari menerima ucapan selamat dari anak-anaknya, kerabat dan keluarga. Tidak pernah ada kenduri. Sebab ultah untuk refleksi diri dan mensyukuri nikmat tuhan, masih diberi napas untuk beraktivitas dan berkarya.
                                                           ***
Grand Livina warna silver brown itu melaju pelan menembus jalan kota. Pak Burdi menyetir dengan riang mencari jalan Tirtonadi. Sesekali matanya melirik kaca spion melihat penampilannya. Memakai hem lengan panjang, dipadu celana jean. Rambut di potong pendek ala Irfan Hakim, tak kalah dengan remaja masa kini.
Di lampu merah berhenti, lalu belok ke jalan Tirtonadi. Di depan mini market berhenti sejenak. Matanya melirik ke seberang jalan. Di sana berjejer perumahan mewah. Pak Burdi memarkir mobil di depan rumah ber cat hijau.Rumah besar bertingkat dua itu tampak bersih dan asri. Halaman luas di tumbuhi tanaman bunga dan kolam ikan. Keadaan rumah sepi. Di dalam temaram hanya diterangi lampu lima watt.Pak Burdi memencet bel berkali-kali. Terdengar langkah kaki mendekati pintu.
     Ketika daun pintu terbuka, pak Burdi diam terpukau. Darahnya seperti tidak mengalir. Sebab di sana, di ambang pintu berdiri Sunarti bak bidadari dengan dandanan ala seorang model. Belum habis rasa terkejutnya, tiba-tiba ruangan terang benderang dibarengi alunan lagu “Happy Birthday.”
“Selamat ultah ya “Oom”, ….. eh pap,Moga-moga panjang umur dan tambah keren.”
Eh kamu, maafkan aku “say” eh mam. Lalu tawa mereka pecah. Pak Burdi melihat istrinya begitu anggun berjalan ke pintu depan. Menguncinya, lalu membimbingnya masuk kamar.-
                                                            ********
                                                                                                       Nipah Kuning, Maret 2010.

*Moshi moshi = Hallo hallo  
                                                                    *O genki desu ka = apa kabar
                                                                    *Hai genki desu = ya, kabar baik
                                                                    *Anata wa  = kamu siapa










GADIS BERJILBAB DI DEPAN ISTANA



Oleh : Uniek Anandapraya

Kebiasaanku yang baru sejak datang di kota ini,nongkrong di pintu gerbang keraton  Alwatzikhhoebillah menanti azan magrib.Dari bangku yang menempel di dinding aku bebas menikmati pemandangan di sekelilingnya.Ada bangunan keraton yang mungil dan asri di kelilingi pepohonan yang rindang. Mesjid besar, kokoh dan artitistik menghadap sungai. Di depan keraton terhampar halaman luas dilapisi beton. Sedangkan di depan gerbang utama terpajang dua buah meriam kuno.Kedua meriam ini menambah keangkeran dan kewibawaan keraton.
     Keraton dan mesjid jami’ yang di dominasi warna kuning terletak di tepi sungai.Sungai ini beda dengan sungai besar lainnya. Walaupun di layari kapal motor besar, tidak ada gelombang besar menghempas di bibir sungai. Sampan-sampan kecil aman dari hempasan gelombang. Karena itulah sungai ini dipilih sebagai tempat lomba sampan. Peserta lomba sampan bahkan diikuti dari Brunai dan negeri Jiran.Konon lomba sampan merupakan tradisi kerajaan  turun temurun sejak ratusan tahun. Keasrian sungai tertata apik, air sungai bersih dari pencemaran. Sebab tidak ada pabrik atau industri besar sebagai biang pencemaran.
      Ketika senja menjelang, panorama di depan keraton sangat indah. Di ufuk barat berubah jadi merah jingga saat matahari akan tenggelam.Cahayanya membias permukaan sungai membentuk lukisan raksasa. Kesyahduan kian terasa saat azan magrib berkumandang dari mesjid keraton. Lalu terlihat iringan jamaah menuju mesjid untuk menunaikan perintah Illahi.

     Sore ini kesehatanku kurang fit ketika aku duduk di gerbang keraton. Aku tidak sempat tidur siang karena pagi hingga sore meliput berita di dua tempat.Pagi hari meliput aksi demo masyarakat yang menolak kehadiran pengusaha sawit. Sedangkan siangnya meliput sidang kasus korupsi. Sepulangnya langsung menyiapkan berita dan mengirimnya ke redaktur. Berburu berita dan di buru waktu, langganan keseharianku.Sebagai seorang jurnalis aku berusaha menyajikan berita yang up to date. Sesuai motto dari mediaku, “Cepat, tepat dan akurat.” Aku tidak pernah mengeluh meskipun jatah tidurku hanya lima jam. Kepuasannu terletak pada hasil karya. Hati senang dapat menyelesaikan berita besar yang di tunggu pembaca.
     Karena kantuk kian menyerang aku tidak bisa menikmati keindahan panorama keraton seperti di hari kemarin. Aku menyandarkan tubuh ke dinding  lalu tertidur pulas. Tiba-tiba aku terkejut karena keadaan sekelilingku berubah. Di halaman keraton yang luas tidak kulihat anak-anak bermain sepeda mini. Yang tampak, prajurit keraton yang sedang latihan perang. Suara nyaring pedang beradu perisai memekakkan telinga. Di depan pintu keraton berdiri dua prajurit memegang tombak. Sedangkan dua prajurit  lainnya berjaga di depan meriam. Aku bangkit dan berjalan mengitari keraton. Prajurit yang berpapasan denganku tidak ada yang menegur. Mungkin karena aku berpakaian rapi memakai baju koko dan berpeci. Beberapa orang dayang sedang beristirahat di bawah menara. Mereka saling bercanda dengan bahasa yang tidak kumengerti.
    Langkahku terhenti di tepi sungai. Aku melihat banyak remaja sedang bercengkrama. Ada yang berjoget dan saling berbalas pantun. Sementara di tengah sungai terlihat kesibukan sampan yang sarat muatan hilir mudik. Tiba-tiba aku melihat seorang gadis berjilbab. Gadis itu menyendiri, terpisah dari teman-temannya. Aku perhatikan lebih dekat. Anggun dan berwibawa dengan balutan busana muslimah. Berkebaya warna putih mengkilap dipadu jilbab hijau daun sangat serasi dengan kulitnya yang putih. Kalau dibandingkan dengan artis ibukota, mirip pesinetron Innike Koesherwati. Aku seperti di hipnotis untuk lebih mendekat. Aku member hormat dengan sedikit membungkuk, lalu melantunkan sebuah pantun :
     Ikan jelawat terjaring pukat
     Meronta-ronta kesesalan
     Kalau boleh abang mendekat
     Abang ingin berkenalan.
Gadis berjilbab itu masih membisu. Dipandangnya aku lebih tajam.Kemudian rona merah membias di wajahnya kala berbisik dengan temannya. Lalu terdengar suara merdu disertai gerakan tubuh gemulai membalas pantunku :
     Burung bangau terbang lurus
     Mencari ikan dalam kolam
     Ku sambut abang dengan tulus
     Di hati yang paling dalam.
Aku bersorak kegirangan. Aku menyongsongnya lebih dekat sembari mengulur tangan, “Iqbal” sapaku. Aku “Uray Mawarni”, sambutnya ramah. Aroma parfum khas Timur Tengah yang harum menempel  di telapak tanganku.
“Uray kerabat keraton ?”
“Iya, ayahku kepala pengawal keraton.”
“Abang orang baru di sini ?”
Aku dari kerajaan seberang, bertugas di sini sebagai pewarta.Bolehkah abang bertanya. Mengapa Uray memisahkan diri  dari teman-temannya ? Bukankah jejaka di sini banyak yang ganteng-ganteng ?
“Aku punya kriteria dalam mencari pasangan. Salah satunya harus cerdas, berwawasan luas serta pintar mengaji.”
 Seandainya abang mencalonkan diri ?
Gadis berjilbab itu mengangkat wajahnya, menghujamku dengan tatapan  seseorang yang kesepian, haus cinta dan kasih sayang.
“Abang memang pintar dan cerdas.Seorang pewarta memang dituntut berwawasan luas serta menguasai bahasa. Tapi abang bisa mengaji ?”
Abang akan mencobanya meskipun tidak pernah berlatih sejak menjuarai lomba tingkat pesantren. Aku lalu melantunkan beberapa ayat Al-Kahfi.
Tidak kuduga. Ketika aku sedang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an tiba-tiba suasana jadi hening. Aktivitas terhenti. Semua mata tertuju ke arahku. Mereka mendengarkan dengan khusuk. Begitu selesai, mereka mengacungkan jempol. Mereka saling berebutan menyalamiku.  Sekilas aku melihat gadis berjilbab berlari ke arahku.
“Suara abang merdu sekali dan menjiwai bacaan. Aku bersyukur mendapat calon pendamping yang alim dan bijaksana meskipun berasal dari negeri jauh di seberang …….. “
Ucapan gadis berjilbab itu belum selesai, tiba-tiba handphone ku berdering mengeluarkan cahaya kelap kelip.Aku terkejut dan ketakutan. Dua orang pengawal keraton berwajah angker menghampiriku.
“Kamu mata-mata kafir penjajah ya ?”
Ampun tuanku. Aku pewarta, bukan seorang mata-mata.
“Bohong, buktinya kamu bawa alat perekam.”
Pengawal itu menjambak rambutku sampai terjerembab. Sebelah tanganku di seret ke dalam gerbang. Kulihat gadis berjilbab mengejar dan menarik sebelah tanganku sambil berseru “dia pintar mengaji, dia bukan mata-mata. Lepaskaaaaa…..nn.”
Tapi usaha gadis berjilbab itu sia-sia. Pengawal makin beringas. Aku makin jauh terseret. Sayup-sayup aku mendengar rintihan gadis berjilbab itu memanggilku, Abang….. baaaang….”
Pengawal menyeretku ke sebuah sel yang kotor dan sempit.
“Mana alat perekam itu? Aku akan persembahkan kepada Yang Mulia Sri Sultan.”
Pengawal berusaha merebut handphone dari saku.Tetapi aku terus mempertahankan.
Ini alat komunikasi, bukan alat perekam. Jangan di ambil….jangaaaa…nn, teriakku.
     Tiba-tiba terasa pundakku di guncang. Samar-samar aku melihat seorang  tua berpeci hitam memegang pundakku. “Bapak tertidur dan bermimpi,mari kita shalat”, ajaknya.
Aku mulai sadar. Ingatanku mulai jernih. Sejak sore aku tertidur pulas dan di buai mimpi di gerbang keraton.Sambil beristigfar aku bergegas mengikuti jamaah yang akan shalat magrib. Sementara dari mesjid, suara bilal baru saja mengakhiri azan ….. Laailaaha Illallah…
*********
            Sambas, Maret 2010.







MENUNGGU OPLET TERAKHIR DI TAMAN BIAO


C e r p e n : Uniek Anandapraya  
                                
Rintik-rintik hujan masih tersisa ketika Baiq Rasti melangkahkan kaki ke gerbang Taman Biao.Langit mulai cerah karena mendung yang menutupinya mulai menyisih.Hujan deras tidak jadi turun.orang yang berteduh di emper-emper toko mulai pergi.Aktivitas di jalan mulai ramai.Rasti menyusuri taman yang masih basah.Mencari sebuah bangku di ujung taman.Bangku kenangan yang kerap di datangi nya tiap akhir pekan.  
Sudah sebulan Rasti tidak mengunjungi Taman Biao.Tadi dosen Killer nya absen sehingga pulang kuliah lebih awal.Biasanya kalau pulang kuliah terus naik oplet ke jurusan yang melewati Taman Biao.Tetapi sore ini Rasti minta di turunkan di persimpangan Taman Biao.Pikirannya sedang resah dan gundah karena berita dari kekasihnya di negeri Jiran tidak kunjung datang.Rangga,kekasihnya pergi ke negeri Jiran enam bulan lalu sebagai TKI.Mula-mula Rangga rajin mengirim berita.Baik melalui surat maupun SMS.Tetapi setelah waktu berjalan tiga bulan,Rangga seperti hilang di telan bumi.
“Selamatkah bang Rangga,atau berpalingkah dia?”Rasti makin resah kalau ada berita penyiksaan maupun kasus narkoba TKI di luar negeri.Akibatnya kesehatan Rasti makin menurun.Kuliahnya tidak terfokus.Sehari masuk, dua hari tidak.
Anehnya,mbak Ranti,kakak semata wayang bersama suaminya tenang dan santai saja.Kadang-kadang Rasti sebel dengan gurauan kakaknya.Kakaknya banyak membela Rangga.Rasti dianggap kurang setia dan tabah.”Seharusnya kamu berdoa dan bersabar,Ras.”Cuma itu terus nasehat dari kakaknya.Rasti tidak mengerti mengapa dulu kakaknya begitu menentang kepergian Rangga ke negeri Jiran?Sekarang kakaknya santai-santai saja walaupun akhir-akhir ini Rangga tidak pernah mengirim khabar?Rasti makin tidak mengerti,Rasti makin tersiksa.
Rasti memandang kosong ke seberang taman.Beda dulu ketika masih bersama Rangga.Dulu Rasti dan Rangga menjadikan Taman Biao tempat terpaforit.Mereka satu sekolahan di salah satu SMA dekat Taman Biao. Rasti memilih sekolah di dekat Taman Biao karena di kecamatannya belum ada sekolah SMA negeri.Sedangkan Rangga penduduk asli di situ.Rasti mengagumi Rangga karena Rangga pemuda pantang menyerah dan bintang bola volly di sekolahnya.Rangga membiayai sekolahnya sendiri dengan menjadi pengojek di dekat Taman Biao.Sepulang sekolah Rangga meminjam motor pamannya.Pulang menjelang shalat Magrib.Rangga memang beda dengan anak sekampungnya.
                                                                    *****
Hanya pada hari Minggu Rangga istirahat total.Terkadang mereka menghabiskan waktu sepanjang sore di Taman Biao.Berolah raga keliling taman dan melepaskan penat di bangku taman adalah aktivitas mereka melepaskan kepenatan belajar.”Ras, kamu tahu nggak? Di bawah bangku taman ini dulunya kuburan.”Rangga mengawali ketika mereka baru duduk di bangku taman.”Apa?Hii…kuburan??Rasti sedikit bergidik.”Iya,tapi sudah dipindah”Menurut cerita kakekku taman Biao dulunya merupakan komplek kuburan dikelilingi tanah persawahan.”Lalu “Biao”kok nama Cina.”
“Kalo nama itu memang berhubungan dengan nama cina.Lihat bangunan tua di persimpangan jalan itu.Menurut cerita kakekku,bangunan tua yang sekarang dijadikan gudang pupuk oleh pemerintah itu dulunya milik seorang pedagang cina bernama “Koh Biao.”Koh Biao pedagang pengumpul hasil bumi.Petani lebih suka menjual hasil panennya ke Koh Biao. Koh Biao juga seorang yang ramah dan supel bergaul.Karena saking seringnya disebut,tempat itu berubah menjadi “Biao”.Kakekku juga bercerita kalau Biao tempo doeloe lebih ramai dari sekarang.Itu karena Biao terletak di persimpangan jalan yang strategis.Di sekitarnya tumbuh warung-warung dan toko makanan.Penumpang bus besar yang akan ke Kopang maupun Sengkol atau Mujur akan singgah dulu membeli makanan di Biao.Bus-bus besar dulu larinya tidak secepat oplet sekarang.Kata kakek nama-nama bus yang beroperasi semuanya milik orang cina,seperti bus “Asli”,”Sampurna”,”Susila”,”Kancil Mas”.Siang hari warung makanan sekitar Biao ramai dikunjungi petani untuk makan siang dan melepas lelah.Petani menjual hasil panen dengan memikulnya ke pasar.Padi yang sudah kering,dan masih bertangkai diikat rapi.Petani memikulnya dengan alat pikulan yang khas terbuat dari bambu.Panjangnya sekitar dua meter.Dibuat licin dan lentur agar nyaman di pundak.Untuk menahan panasnya aspal di jalan,petani memakai sandal yang terbuat dari ban mobil bekas yang disebut”lampak”.Petani bisa memikul padi dari desa ke pasar puluhan bahkan ratusan kilo sekali angkut.Adalah pemandangan biasa kalau tiap pagi akan terlihat pemandangan iringan pemikul padi dengan suara pikulannya “ngak,ngik,ngak,ngik.”
Setelah padi terkumpul penuh di gudang,Koh Biao menjualnya ke pabrik penggilingan padi.Pabriknya tidak jauh dari sini.Sisa-sisa kejayaan pabrik masih tampak.Bangunan pabrik masih berdiri kokoh dinaungi tembok yang tinggi.Hanya bangunan gudangnya sudah berganti dengan bangunan pasar modern.Ratusan orang menggantungkan hidup di pabrik ini.Baik laki-laki,perempuan maupun anak-anak.Terlebih pada musim panen tiba.Akan terlihat iringan truk besar pengangkut padi masuk ke luar pabrik.Tiap sore di tempat pembuangan ampas padi terlihat ramai oleh ibu-ibu yang mengayak untuk mencari sisa-sisa beras….
“Angga,kok kakekmu tahu semua?”
 “Karena kakek dan nenekku bagian dari masa lalu ini.Kakek bekerja sebagai buruh pabrik dan nenekku mencari sisa-sisa beras di tempat pembuangan sampah…..” Rangga tidak kuasa meneruskan ceritanya.Bibirnya bergetar.Air bening menetes dari pelupuk matanya,tapi dengan cepat dihapus.
“Maafkan aku Angga.Aku telah mengungkit masa lalumu.”
“Tidak Ras,justru kemiskinan memicu semangatku untuk terus bersekolah.Aku ingin beda dengan penduduk kampungku.Mereka seolah-olah ditakdirkan untuk terus miskin.Jumlah yang berpendidikan SLTA bisa dihtung dengan jari.Yang sarjana? “Nihil”.Mereka sudah merasa puas dengan mengontrakkan sebagian rumahnya untuk dijadikan tempat kost.Selebihnya untuk memikirkan pendidikan anak-anak mereka tak berdaya.Anak-anak diserahkan pada nasib.Kalau beruntung yang mempunyai anak perempuan menikah dengan orang berada di luar kampung hidupnya lebih baik.Sebaliknya anak laki-laki yang tidak bersekolah menjadi pekerja kasar.”
Sore semakin temaram.Gerombolan anak-anak sekolah pejalan kaki sudah mulai berkurang.Hanya suara teriakan kernet oplet yang mencari penumpang.Taman Biao mulai sepi.Rasti dan Angga beranjak pergi.Di persimpangan jalan mereka berpisah.
                                                    *****
Sore itu Rasti dan Rangga kembali memasuki taman Biao.Mereka baru pulang merayakan hari perpisahan kelas di sekolah.Rangga dan Rasti sama-sama lulus.Hari masih sore.Anak sekolah lain juga datang memenuhi taman.Rasti dan Rangga memilih duduk di bangku pojok taman.Ada yang beda dalam pertemuan mereka sore itu.Mereka lebih banyak membisu.Padahal anak-anak lain saling bercengkerama dengan riangnya.
“Ras,akhirnya perpisahan yang kutakutkan tiba juga.”Rangga mencoba mencairkan suasana.
“Tiga tahun lamanya kita berkawan.Rasanya terlalu singkat.Kukira kita akan terus bersama.Tapi entahlah setelah hari esok berlalu.Sungguh aku merasa kehilangan sesuatu.Aku merasa kehilangan dirimu.Sosok seorang kawan tempat aku membagi keluh kesah dan canda.Akhir-akhir ini aku merasa tersiksa oleh kebimbangan.Aku ingin mengatakan sesuatu.Tapi begitu tiba saatnya,aku tidak memiliki keberanian.Dan hari ini aku mengajakmu ke taman ini.Aku ingin mengatakan bahwa aku… aku…cinta kamu.”Ras, maukah kamu jadi kekasihku?”
Rasti memandang wajah Rangga.Sudah terlalu lama menunggu kepastian dari Rangga.Sebab jauh di lubuk hatinya memang mencintai Rangga.Pemuda alim dan pintar,tapi memiliki guratan nasib kurang beruntung.Teman-temannya sudah mempatenkan mereka berdua sebagai sepasang kekasih.Tetapi Rasti belum yakin apakah Rangga mencintainya atau menganggapnya hanya sebagai seorang teman.Pikirannya makin tersiksa kalau mbak Ranti menanyakan keseriusan hubungannya dengan Rangga.Sekarang sedang deg-degan.Dadanya bergetar manakala sepasang tangan menyentuh jemarinya….
                                                        ****
Sore kian merangkak temaram.Awan putih yang tadi berarakan di langit makin kelam.Satu persatu pasangan remaja yang menikmati sore di Taman Biao juga mulai pergi.Rasti belum mau beranjak sebab oplet terakhir yang mengantarnya pulang ke kampung belum muncul.Biasanya kernet oplet akan berteriak memanggil penumpang di mulut gerbang taman.Sepanjang sore Rasti hanya termenung di pojok taman.Pikirannya galau memikirkan Rangga.”Seandainya dulu aku menahan kepergian Rangga.Seandainya aku tidak mengiyakan permintaan Rangga untuk menjadi TKI,seandainya….” Rasti bergumam sendiri.Masih diingat kata-kata Rangga 6 bulan silam. “Ras,aku minta pengorbanannmu.Ijinkan aku mencobanya kali ini.Hanya 6 bulan saja,sementara kamu kuliah di sini.Di sini aku sudah mencoba.Tapi aku tidak berdaya menghadapi persaingan.Sudah puluhan surat lamaran kumasukkan,tapi hanya janji-janji manis yang aku dapat.Aku sadar,apa yang bisa diharap dengan selembar sertifikat SMA?Aku ingin membahagiakanmu.Bukan dengan janji-janji muluk.Besok aku berangkat.Kak Ranti juga memberi support…..”
“Mujur….Sengkol….” Tiba-tiba Rasti dikejutkan teriakan kernet oplet.Rasti terkejut karena oplet terakhir sudah datang.Rasti bergegas ke pintu taman.”Aku harus pulang,aku harus mengubur kisah bersama Rangga.Tiga bulan bukan waktu yang singkat untuk terus memendam rindu dan diombang ambing kebimbangan”,gumamnya. Dari sebuah warung sempat mendengar lirik lagu Coklat:
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .…
Salahkah bila
Ku tak henti mengharapkannya
Meskipun akhirnya
Kutahu dia hanya membuatku terluka
Bayangannya trus menghampiri
Kemana pun kucoba pergi
Adakah dia peduli
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
“Ras,….Rasti…” Tiba-tiba ada suara memanggil di dekat pintu taman.Samar-samar seorang berseragam polisi turun dari sepeda motor dan berlari menghampirinya.Rasti seperti tak percaya dengan keajaiban di depannya.Pemuda berseragam polisi itu sangat di kenal dan dirindukannya.Pemuda itu kekar dan gagah.Di pundaknya ada tanda pangkat satu strip berwarna silver.
“Angga….kamu…”
“Iya,aku Angga yang dulu,Yang pernah menjanjikan indahnya hari esok….
“Maafkan aku Ras.Aku membuatmu tersiksa.Seharusnya aku khabarkan tiga bulan lalu.Tapi aku berbalik arah.Aku hanya memberi khabar ke kak Ranti.Aku memohon kepada kak Ranti agar merahasiakan keberadaanku.Ras,… tiga bulan lalu aku berhenti menjadi TKI di negeri Jiran.Aku tak sanggup menghadapi pekerjaan yang sangat berat.Terpanggang teriknya matahari memikul tandan-tandan sawit.Dengan penghasilan yang kukumpul selama tiga bulan, aku pulang.Di Bali aku singgah ke tempat paman di kota Denpasar.Di kota itu aku menemukan kebesaran tuhan.Aku mencoba ikut tes menjadi anggota polisi dan lulus.Sekarang aku sudah dilantik menjadi anggota kepolisian.Aku kangen kamu Ras.Aku ingin merajut kembali kisah-kisah yang pernah kita impikan..
“Kamu kejam,Angga …..”
Rasti membiarkan sepasang tangan kekar Rangga menariknya dan menenggelamkannya di dadanya yang bidang.Sebelum berkonsentrasi menormalkan aliran darahnya,dirasakan sebuah kecupan mendarat di dahinya.Persis seperti enam bulan silam saat Rangga meninggalkannya.Dan mereka baru sadar manakala sayup-sayup suara merdu dan syahdu memanggil…”marilah menuju kemenangan…. Marilah menuju kemenangan….    
                                                                         ****                                                                                                             
                                                                                          Nipah Kuning,Pontianak Desember 2009


LEBARAN KALI INI


C E R P E N : Uniek Anandapraya                                                                               
Andre memelototi isi surat yang barusan diterimanya.Perasaannya berkecamuk,dadanya deg-degan.Dita,cewek yang selama ini mengusiknya lewat sms dan pucuk-pucuk surat akan berkunjung beneran.”An,kamu gak keberatan kalo aku numpang lewat di kotamu.Sebulan lalu Oom ku atau adik mama yang seorang Adhiyaksa di tugaskan ke kota Singkawang.Aku pengen kamu jemput dan temani aku ke Pasir Panjang,Pantai Kijing dan tempat-tempat indah seperti yang kamu tulis di surat.
“Kalo kamu siap,minggu depan aku datang dengan kapal cepat.Jemput aku di pelabuhan.Tapi gimana ya kita kan belum saling lihat tampang.Pokoknya atur sendiri aja,Salam.”
 Andre  melipat surat itu dengan perasaan beribu makna.Lalu secara reflek berjingkrak tanpa memperdulikan tatapan adiknya,Melly yang terheran-heran.
“Lu ngapain An,kayak penghuni rumah sakit Sungai Bangkong?”
Ala lo urusin Elang mu aja,kan besok malam kamu dah janjian nonton “Ayat-Ayat Cinta” di Mega
Mall?
Andre mengalihkan investigasi Melly,takut rahasianya terbongkar.Andre belum tahu tampang Dita kayak apa.Padahal papa dan mamanya makin sebel karena semua teman-teman ceweknya gak ada yang spesial.
Andre mengenal Dita di salah satu tabloid ibukota.Di majalah itu dimuat identitas Dita di halaman sahabat pena.Tanggal kelahiran Dita sama dengan tanggal kelahirannya.Sayang tidak ada photonya.Entah disengaja atau memang Dita tidak mau pamer tampang?Andre iseng-iseng mengontak lewat pucuk-pucuk surat.Lalu berlanjut ke tukar menukar nomor HP.
Andre Dn Dita menjadi sepasang sahabat yang unik.Mereka mengisi obrolan yang serius dan kocak.Tapi mereka tak pernah saling mengenal tampang.Mereka bagai fatamorgana yang penuh teka teki.Andre masih ingat bulan kemarin Dita mempermaknya dengan lelucon yang takkan terlupakan.Andre menerima sebuah paket mungil berisi sebuah kado dari pak pos.Perasaan Andre berbunga-bunga.Terlebih kadonya dibungkus indah berwarna pink kesukaannya.Di sampul dengan jelas tertulis dari Dita Untuk Andre.Buru-buru Andre membuka kado itu dalam kamar. Ketika bungkus pertama di buka,masih ada bungkus lain dengan aneka warna.”Apa isinya?Lelucon apa yang dibuat Dita?”Ketika tiba pada bungkus terakhir,detak jantung Andre makin berdebar.Ada benda keras menggelinding di dalam.Dan ….. astaga,sepasang cairan penghapus merk “Stipo” muncul di hadapan Andre.Di kartu yang di lukis indah tertera tulisan “untuk menghapus kesalahan dan kekeliruan di hari kemarin yang tak berguna.Dan memperbaikinya di masa datang.Mat ultah dan salam.Dari Dita Arini.”                                    
                                                           ****
Sekarang Dita akan menemuinya. Andre makin berbunga. Rasa senang dan was-was menghantuinya. Membayangkan pertemuan yang penuh tanda tanya. Bagaimana tampangnya?Bagaimana reaksinya Lalu Andre teringat kado yang diterima dari Dita.
“Aku harus membalas kekonyolannya.Budak Pontianak pantang di remehkan.Itu gengsi,”bisiknya dalam hati.Tiba-tiba ponselnya berdering.”Hallo,ini Andre.”Suara dari seberang sana begitu merdu dan sangat dikenalnya.Ada perasaan rindu berkecamuk di benaknya kalau mereka tidak ber-ha-ha,hi-hi melalui hp.Ada rasa kehilangan sesuatu kalau Dita tidak mengontaknya.”Kamu Dita?”Andre tak sabar.
“An,lusa aku jadi berangkat.Tapi gimana nih,kita belum saling lihat tampang.Tebak kira-kira kayak apa aku?”
Dari suaramu,kira-kira kayak presenter Yuanita Christiani.
“Salah, itu terlalu berlebihan.”
“Gini aja Dit,Kamis lusa aku tunggu kamu di pelabuhan Dwikora.Turun dari kapal langsung cari di ruang tunggu penumpang.Cari orang yang pegang Koran “Borneo Tribune”,itulah aku.
“Gimana kalo banyak yang pegang Koran seperti itu?”
“Ini hasil survey,biasanya Koran Borneo Tribune dibaca orang kantoran.”
“Itu aja An”
“Ya, sampai jumpa di bumi Khatulistiwa,Dit.”
Andre mematikan hp nya dengan wajah ceria.Keceriaannya terbawa sampai ke dalam kamar.Andre tertawa sendiri mengingat rencana konyolnya nanti.Seisi rumah tak ada yang tahu rencana besarnya.Baik papa,mama dan Melly adiknya semata wayang.
                                                                ***
Pagi begitu cerah.Di jalan sudah ramai orang yang berlebaran ke rumah kerabatnya.Aroma Idul Fitri masih terasa,meski tidak ada gema takbir dan taluan beduk. Hanya sesekali suara dentuman meriam karbit memecah kesunyian.Andre memilih busana terbaik. Rambutnya dibiarkan terurai kayak Tom Cruse.Andre bergegas menstater Honda Revo kesayangannya,lalu di larikan kearah pelabuhan.Di sebuah kios kecil Andre membekali diri dengan Koran Borneo Tribune.
Di ruang tunggu penumpang Andre membolak-balik Koran.Tapi berita-berita hangat tak masuk di otaknya.Pikirannya masih penuh tanda tanya,memikirkan drama pertemuannya dengan Dita.Cewek yang dikenal lewat pucuk-pucuk surat dan hp.Dita telah menyita pikirannya.Suara merdu lewat hp atau kekonyolannya dalam pucuk-pucuk surat membuatnya lebih penasaran untuk mengenal siapa Dita.                                                               
Jantung Andre berdetak makin kencang manakala di kejauhan tampak benda seperti kapal selam melesat menuju pelabuhan.
Penjemput mulai sibuk menyiapkan penjemputan.Andre melirik seorang lelaki tua berambut putih di sampingnya.”Inilah saatnya,”gumamnya.Koran diberikan kepada orang tua itu.Andre lalu menjauh ke tempat tersembunyi.Sementara di bibir dermaga para penjemput sibuk mencari sanak keluarganya.Andre menyimak satu persatu penumpang dari balik pesembunyiannya.Beberapa saat kemudian muncul sosok seorang gadis menenteng tas kecil.Bak seorang detekrif Andre memelototi gadis itu.Tubuh tinggi semampai,dibalut celana jean dan blous ketat.Potongan rambutnya pendek sebahu,mirip milik Penelope Cruz.
Gadis itu seperti gelisah mencari sesuatu.Langkahnya berhenti di depan orang tua yang sedang asyik membaca Koran Borneo Tribune.
Tiba-tiba wajahnya cemberut ketika melihat tampang orang tua yang sedang membaca Borneo Tribune.Lalu seperti berlari menuju pintu keluar.
Andre mengejarnya.
“Dita”
Gadis itu berhenti dan menatap tajam seorang cowok di belakangnya.
“Kamu Andre?”
Andre mengangguk sembari menyodorkan tangan.
Mereka saling menatap dalam diam.Lalu tawa mereka pecah.”Skore satu-satu ya Dit?” Andre memecah kebisuan.”Maafkan aku Dit.Aku hanya ingin membalas kiriman kadonya.“
“An, kamu tega membuatku stress di daerah yang serba asing ini?”
Dita tidak jadi menumpahkan kesesalannya .Dia sadar karena pernah mempermainkan Andre. Diperhatikan tampang cowok di hadapannya. Tinggi atletis dan penuh humor. ”Inilah yang kucari”,bisiknya dalam hati. Terbayang raut adik semata wayangnya,Lia. Tiap malam Minggu seakan mengejeknya bersama doi. Yang paling menyiksa pikiran adalah kekhawatiran mama. Sebab sudah semester lima, tapi masih menjomblo.
“Kamu melamun?”
“Eh….. nggak”.Dita gelagapan dengan pertanyaan Andre yang begitu tiba-tiba.
“Aku……aku ingat Oomku.Jauhkah dari sini?”
“masih tiga jam perjalanan.Yuk ke rumahku dulu.Nikmati hidangan lebaran.Sekalian berkenalan dengan papa dan mama.
“Sebagai apa?”
“Iya sekalianlah.Sebagai teman,atau calon mantu.”
Ucapan Andre terakhir menyebabkan wajah Dita memerah.Tangan di kepal memburu pundak Andre.Tapi dengan sigap Andre menangkapnya.Dita tidak menarik tangannya.Andre makin erat meremasnya.Mereka saling bertatapan, makin dekat….. lalu…duarrrrrr!Suara dentuman meriam Karbit  memecah keheningan.Andre dan Dita terlonjak kaget.Mereka baru sadar di mana mereka berada.Hanya mereka berdua masih di situ.Di sekeliling hanya tinggal bangku kosong dengan sisa-sisa sampah.
Andre menuntun Dita keluar pelabuhan.Menstater sepeda motor lalu memacunya membelah kota.
Bagi Andre,lebaran kali ini tak hanya menguak teka teki yang panjang tentang sosok Dita.Tapi sekaligus telah mengukir benih-benih cinta yang fitri.
                                             Nipah Kuning,  Desember 2009


PEREMPUAN TUA DI JALAN KARET


Cerpen : Uniek Ananda Praya 
Rintik-rintik hujan masih tersisa ketika Baiq Rasti melangkahkan kaki ke gerbang Taman Biao.Langit mulai cerah karena mendung yang menutupinya mulai menyisih.Hujan deras tidak jadi turun.orang yang berteduh di emper-emper toko mulai pergi.Aktivitas di jalan mulai ramai.Rasti menyusuri taman yang masih basah.Mencari sebuah bangku di ujung taman.Bangku kenangan yang kerap di datangi nya tiap akhir pekan.  
Sudah sebulan Rasti tidak mengunjungi Taman Biao.Tadi dosen Killer nya absen sehingga pulang kuliah lebih awal.Biasanya kalau pulang kuliah terus naik oplet ke jurusan yang melewati Taman Biao.Tetapi sore ini Rasti minta di turunkan di persimpangan Taman Biao.Pikirannya sedang resah dan gundah karena berita dari kekasihnya di negeri Jiran tidak kunjung datang.Rangga,kekasihnya pergi ke negeri Jiran enam bulan lalu sebagai TKI.Mula-mula Rangga rajin mengirim berita.Baik melalui surat maupun SMS.Tetapi setelah waktu berjalan tiga bulan,Rangga seperti hilang di telan bumi.
“Selamatkah bang Rangga,atau berpalingkah dia?”Rasti makin resah kalau ada berita penyiksaan maupun kasus narkoba TKI di luar negeri.Akibatnya kesehatan Rasti makin menurun.Kuliahnya tidak terfokus.Sehari masuk, dua hari tidak.
Anehnya,mbak Ranti,kakak semata wayang bersama suaminya tenang dan santai saja.Kadang-kadang Rasti sebel dengan gurauan kakaknya.Kakaknya banyak membela Rangga.Rasti dianggap kurang setia dan tabah.”Seharusnya kamu berdoa dan bersabar,Ras.”Cuma itu terus nasehat dari kakaknya.Rasti tidak mengerti mengapa dulu kakaknya begitu menentang kepergian Rangga ke negeri Jiran?Sekarang kakaknya santai-santai saja walaupun akhir-akhir ini Rangga tidak pernah mengirim khabar?Rasti makin tidak mengerti,Rasti makin tersiksa.
Rasti memandang kosong ke seberang taman.Beda dulu ketika masih bersama Rangga.Dulu Rasti dan Rangga menjadikan Taman Biao tempat terpaforit.Mereka satu sekolahan di salah satu SMA dekat Taman Biao. Rasti memilih sekolah di dekat Taman Biao karena di kecamatannya belum ada sekolah SMA negeri.Sedangkan Rangga penduduk asli di situ.Rasti mengagumi Rangga karena Rangga pemuda pantang menyerah dan bintang bola volly di sekolahnya.Rangga membiayai sekolahnya sendiri dengan menjadi pengojek di dekat Taman Biao.Sepulang sekolah Rangga meminjam motor pamannya.Pulang menjelang shalat Magrib.Rangga memang beda dengan anak sekampungnya.
                                                                    *****
Hanya pada hari Minggu Rangga istirahat total.Terkadang mereka menghabiskan waktu sepanjang sore di Taman Biao.Berolah raga keliling taman dan melepaskan penat di bangku taman adalah aktivitas mereka melepaskan kepenatan belajar.”Ras, kamu tahu nggak? Di bawah bangku taman ini dulunya kuburan.”Rangga mengawali ketika mereka baru duduk di bangku taman.”Apa?Hii…kuburan??Rasti sedikit bergidik.”Iya,tapi sudah dipindah”Menurut cerita kakekku taman Biao dulunya merupakan komplek kuburan dikelilingi tanah persawahan.”Lalu “Biao”kok nama Cina.”
“Kalo nama itu memang berhubungan dengan nama cina.Lihat bangunan tua di persimpangan jalan itu.Menurut cerita kakekku,bangunan tua yang sekarang dijadikan gudang pupuk oleh pemerintah itu dulunya milik seorang pedagang cina bernama “Koh Biao.”Koh Biao pedagang pengumpul hasil bumi.Petani lebih suka menjual hasil panennya ke Koh Biao. Koh Biao juga seorang yang ramah dan supel bergaul.Karena saking seringnya disebut,tempat itu berubah menjadi “Biao”.Kakekku juga bercerita kalau Biao tempo doeloe lebih ramai dari sekarang.Itu karena Biao terletak di persimpangan jalan yang strategis.Di sekitarnya tumbuh warung-warung dan toko makanan.Penumpang bus besar yang akan ke Kopang maupun Sengkol atau Mujur akan singgah dulu membeli makanan di Biao.Bus-bus besar dulu larinya tidak secepat oplet sekarang.Kata kakek nama-nama bus yang beroperasi semuanya milik orang cina,seperti bus “Asli”,”Sampurna”,”Susila”,”Kancil Mas”.Siang hari warung makanan sekitar Biao ramai dikunjungi petani untuk makan siang dan melepas lelah.Petani menjual hasil panen dengan memikulnya ke pasar.Padi yang sudah kering,dan masih bertangkai diikat rapi.Petani memikulnya dengan alat pikulan yang khas terbuat dari bambu.Panjangnya sekitar dua meter.Dibuat licin dan lentur agar nyaman di pundak.Untuk menahan panasnya aspal di jalan,petani memakai sandal yang terbuat dari ban mobil bekas yang disebut”lampak”.Petani bisa memikul padi dari desa ke pasar puluhan bahkan ratusan kilo sekali angkut.Adalah pemandangan biasa kalau tiap pagi akan terlihat pemandangan iringan pemikul padi dengan suara pikulannya “ngak,ngik,ngak,ngik.”
Setelah padi terkumpul penuh di gudang,Koh Biao menjualnya ke pabrik penggilingan padi.Pabriknya tidak jauh dari sini.Sisa-sisa kejayaan pabrik masih tampak.Bangunan pabrik masih berdiri kokoh dinaungi tembok yang tinggi.Hanya bangunan gudangnya sudah berganti dengan bangunan pasar modern.Ratusan orang menggantungkan hidup di pabrik ini.Baik laki-laki,perempuan maupun anak-anak.Terlebih pada musim panen tiba.Akan terlihat iringan truk besar pengangkut padi masuk ke luar pabrik.Tiap sore di tempat pembuangan ampas padi terlihat ramai oleh ibu-ibu yang mengayak untuk mencari sisa-sisa beras….
“Angga,kok kakekmu tahu semua?”
 “Karena kakek dan nenekku bagian dari masa lalu ini.Kakek bekerja sebagai buruh pabrik dan nenekku mencari sisa-sisa beras di tempat pembuangan sampah…..” Rangga tidak kuasa meneruskan ceritanya.Bibirnya bergetar.Air bening menetes dari pelupuk matanya,tapi dengan cepat dihapus.
“Maafkan aku Angga.Aku telah mengungkit masa lalumu.”
“Tidak Ras,justru kemiskinan memicu semangatku untuk terus bersekolah.Aku ingin beda dengan penduduk kampungku.Mereka seolah-olah ditakdirkan untuk terus miskin.Jumlah yang berpendidikan SLTA bisa dihtung dengan jari.Yang sarjana? “Nihil”.Mereka sudah merasa puas dengan mengontrakkan sebagian rumahnya untuk dijadikan tempat kost.Selebihnya untuk memikirkan pendidikan anak-anak mereka tak berdaya.Anak-anak diserahkan pada nasib.Kalau beruntung yang mempunyai anak perempuan menikah dengan orang berada di luar kampung hidupnya lebih baik.Sebaliknya anak laki-laki yang tidak bersekolah menjadi pekerja kasar.”
Sore semakin temaram.Gerombolan anak-anak sekolah pejalan kaki sudah mulai berkurang.Hanya suara teriakan kernet oplet yang mencari penumpang.Taman Biao mulai sepi.Rasti dan Angga beranjak pergi.Di persimpangan jalan mereka berpisah.
                                                    *****
Sore itu Rasti dan Rangga kembali memasuki taman Biao.Mereka baru pulang merayakan hari perpisahan kelas di sekolah.Rangga dan Rasti sama-sama lulus.Hari masih sore.Anak sekolah lain juga datang memenuhi taman.Rasti dan Rangga memilih duduk di bangku pojok taman.Ada yang beda dalam pertemuan mereka sore itu.Mereka lebih banyak membisu.Padahal anak-anak lain saling bercengkerama dengan riangnya.
“Ras,akhirnya perpisahan yang kutakutkan tiba juga.”Rangga mencoba mencairkan suasana.
“Tiga tahun lamanya kita berkawan.Rasanya terlalu singkat.Kukira kita akan terus bersama.Tapi entahlah setelah hari esok berlalu.Sungguh aku merasa kehilangan sesuatu.Aku merasa kehilangan dirimu.Sosok seorang kawan tempat aku membagi keluh kesah dan canda.Akhir-akhir ini aku merasa tersiksa oleh kebimbangan.Aku ingin mengatakan sesuatu.Tapi begitu tiba saatnya,aku tidak memiliki keberanian.Dan hari ini aku mengajakmu ke taman ini.Aku ingin mengatakan bahwa aku… aku…cinta kamu.”Ras, maukah kamu jadi kekasihku?”
Rasti memandang wajah Rangga.Sudah terlalu lama menunggu kepastian dari Rangga.Sebab jauh di lubuk hatinya memang mencintai Rangga.Pemuda alim dan pintar,tapi memiliki guratan nasib kurang beruntung.Teman-temannya sudah mempatenkan mereka berdua sebagai sepasang kekasih.Tetapi Rasti belum yakin apakah Rangga mencintainya atau menganggapnya hanya sebagai seorang teman.Pikirannya makin tersiksa kalau mbak Ranti menanyakan keseriusan hubungannya dengan Rangga.Sekarang sedang deg-degan.Dadanya bergetar manakala sepasang tangan menyentuh jemarinya….
                                                        ****
Sore kian merangkak temaram.Awan putih yang tadi berarakan di langit makin kelam.Satu persatu pasangan remaja yang menikmati sore di Taman Biao juga mulai pergi.Rasti belum mau beranjak sebab oplet terakhir yang mengantarnya pulang ke kampung belum muncul.Biasanya kernet oplet akan berteriak memanggil penumpang di mulut gerbang taman.Sepanjang sore Rasti hanya termenung di pojok taman.Pikirannya galau memikirkan Rangga.”Seandainya dulu aku menahan kepergian Rangga.Seandainya aku tidak mengiyakan permintaan Rangga untuk menjadi TKI,seandainya….” Rasti bergumam sendiri.Masih diingat kata-kata Rangga 6 bulan silam. “Ras,aku minta pengorbanannmu.Ijinkan aku mencobanya kali ini.Hanya 6 bulan saja,sementara kamu kuliah di sini.Di sini aku sudah mencoba.Tapi aku tidak berdaya menghadapi persaingan.Sudah puluhan surat lamaran kumasukkan,tapi hanya janji-janji manis yang aku dapat.Aku sadar,apa yang bisa diharap dengan selembar sertifikat SMA?Aku ingin membahagiakanmu.Bukan dengan janji-janji muluk.Besok aku berangkat.Kak Ranti juga memberi support…..”
“Mujur….Sengkol….” Tiba-tiba Rasti dikejutkan teriakan kernet oplet.Rasti terkejut karena oplet terakhir sudah datang.Rasti bergegas ke pintu taman.”Aku harus pulang,aku harus mengubur kisah bersama Rangga.Tiga bulan bukan waktu yang singkat untuk terus memendam rindu dan diombang ambing kebimbangan”,gumamnya. Dari sebuah warung sempat mendengar lirik lagu Coklat:
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .…
Salahkah bila
Ku tak henti mengharapkannya
Meskipun akhirnya
Kutahu dia hanya membuatku terluka
Bayangannya trus menghampiri
Kemana pun kucoba pergi
Adakah dia peduli
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
“Ras,….Rasti…” Tiba-tiba ada suara memanggil di dekat pintu taman.Samar-samar seorang berseragam polisi turun dari sepeda motor dan berlari menghampirinya.Rasti seperti tak percaya dengan keajaiban di depannya.Pemuda berseragam polisi itu sangat di kenal dan dirindukannya.Pemuda itu kekar dan gagah.Di pundaknya ada tanda pangkat satu strip berwarna silver.
“Angga….kamu…”
“Iya,aku Angga yang dulu,Yang pernah menjanjikan indahnya hari esok….
“Maafkan aku Ras.Aku membuatmu tersiksa.Seharusnya aku khabarkan tiga bulan lalu.Tapi aku berbalik arah.Aku hanya memberi khabar ke kak Ranti.Aku memohon kepada kak Ranti agar merahasiakan keberadaanku.Ras,… tiga bulan lalu aku berhenti menjadi TKI di negeri Jiran.Aku tak sanggup menghadapi pekerjaan yang sangat berat.Terpanggang teriknya matahari memikul tandan-tandan sawit.Dengan penghasilan yang kukumpul selama tiga bulan, aku pulang.Di Bali aku singgah ke tempat paman di kota Denpasar.Di kota itu aku menemukan kebesaran tuhan.Aku mencoba ikut tes menjadi anggota polisi dan lulus.Sekarang aku sudah dilantik menjadi anggota kepolisian.Aku kangen kamu Ras.Aku ingin merajut kembali kisah-kisah yang pernah kita impikan..
“Kamu kejam,Angga …..”
Rasti membiarkan sepasang tangan kekar Rangga menariknya dan menenggelamkannya di dadanya yang bidang.Sebelum berkonsentrasi menormalkan aliran darahnya,dirasakan sebuah kecupan mendarat di dahinya.Persis seperti enam bulan silam saat Rangga meninggalkannya.Dan mereka baru sadar manakala sayup-sayup suara merdu dan syahdu memanggil…”marilah menuju kemenangan…. Marilah menuju kemenangan….    
                                                                         ****                                                                                                             
                                                                                          Nipah Kuning,Pontianak Desember 2009