Kamis, 31 Maret 2011

SAHABATKU PAK WIN



                                                                Oleh : Uniek Anandapraya

     Seandainya aku bisa, seandainya aku mampu. Aku akan berikan setiap kelebihan rezekiku. Tetapi apa daya aku hanyalah seorang pegawai rendahan golongan satu. Seorang pesuruh kantor yang berangkat kerja subuh dan pulang petang. Aku tidak bisa membantu secara penuh kepada sahabatku, pak Win.
Sedih sekali melihat kehidupan sahabatku. Akibat perusahaan tempatnya menggantung hidup, kolaps.Menyebabkan  dunia seperti kiamat. Sulit mencari pekerjaan baru meskipun sebagai juru parkir atau penjaga malam.Pak Win menambah barisan penyandang status pengangguran. Seandainya seorang bujangan mungkin tidak terlalu berat. Tapi pak Win memiliki istri dan seorang anak.
     Orang-orang memanggilnya pak Win. Entah Darwin atau Wiranto, aku tak tahu. Baru sebulan aku bersahabat dengan pak Win.Bermula setelah menempati rumah di sebelah rumahku. Rumah yang di tempati pak win belum layak di huni. Kumuh. Dari dalam rumah bisa melihat birunya langit karena atapnya bolong-bolong.
     Waktu masih bekerja, pak Win masih bisa mengontrak rumah di ujung gang dekat mesjid.Setelah berhenti bekerja, pak Win pindah ke sebelah rumahku. Rumah itu milik imam mesjid. Pak Win boleh menempatinya dengan gratis asal mau merawatnya.
Sejak pak Win menempati rumah itu, keadaannya jadi bersih.Rumput setinggi pinggang di tebas rata. Pohon melinjo, jambu biji, rambutan dan mengkudu berbuah lebat. Pak Win juga menanam pisang dan pepaya. Hasilnya di bagi dua dengan pemilik rumah. Tetapi kalau tidak panen besar atau buahnya sedikit, Pak Win boleh mengambil hasilnya semua. Biasanya, istri pak Win menjual ke pasar atau di titip di warung.
     Dulu pak Win bekerja di pabrik pengolahan kayu lapis. Mula-mula sebagai buruh pendorong kayu di bagian log deck. Karena pak Win bisa mengoperasikan computer, perusahaan menariknya ke bagian personalia. Aku tidak tahu sekolahnya. Yang kutahu, pak Win seorang perantau asal NTB. Istrinya penduduk asli kampung ini. Sebelum menikah , istri pak Win dulu bekerja di bagian core repair. Setelah punya anak memilih berhenti untuk mengurus anak.
     Hari minggu malam pak Win biasanya bertandang ke rumahku. Malam itulah malam istirahatku. Sebab di hari kerja aku pulang petang. Sepanjang malam itu kami isi dengan main catur, ngobrol dan mendengarkan lagu. Pak Win senang sekali mendengar lagu-lagu religi yang di putar istriku. Lagu yang paling disukai pak Win adalah lagu “Keagungan Tuhan”. Mimik pak Win berubah seketika mendengar lagu Keagungan Tuhan. Kata pak Win, lirik lagu ini bagus dan memiliki kenangan special.
“Aku senang menyanyi, kata pak Win.Tetapi suaraku jelek. Itu sebabnya di sekolah aku selalu tersisih. Kalau murid sekelas nyanyi bersama, guru menyuruhku diam. Aku tidak diperbolehkan ikut nyanyi. Nilai raport pun tak pernah di atas enam.
Lalu apa hubungannya dengan lagu Keagungan Tuhan ?
“Oh itu, waktu penentuan nilai akhir di sekolah. Aku berpikir keras bagaimana caranya mendongkrak nilai agar lebih dari enam. Suaraku jelek, tapi mahir baca puisi. Mengapa tidak di gabung saja ? Aku lalu menyanyikan lagu Keagungan Tuhan dengan gaya orang baca puisi, penuh pengkhayatan. Selesai menyanyi kulihat pak Wahab, wali kelasku menghapus air mata. Aku sangat terharu. Pak Wahab member nilai tujuh di pelajaran menyanyi. Aku sangat senang.”
                                                             ***
      Akhir-akhir ini pak Win jarang datang bertandang ke rumahku. Penyebabnya karena datangnya musim kemarau. Hujan tidak turun bermingu-minggu. Tanah kering berdebu. Daun-daun berguguran. Tanaman di pekarangan pak Win juga ikut meranggas.Pohon pisang dan papaya sebagai tumpuan nafkah banyak yang layu.Dampaknya, tiap hari aku sering mendengar pertengkaran kecil. Suara istri pak Win yang bernada putus asa, menambah iba perasaan. “Pak, aku capek jadi pembantu terus. Tidak adakah jalan lain merobah nasib kita ? Untuk sekedar makan mungkin kita bisa bertahan. Tetapi anak semakin besar. Makin banyak kebutuhannya. Aku malu ngutang terus sama tetangga.”
     Pak Win hanya bisa diam. Tak ada lagi kata-kata yang bisa menghibur istrinya. Posisinya memang sedang terdesak. Sebagai seorang perantau, tidak ada lagi tempatnya mengadu. Sesekali kulihat kulihat pak Win keluar rumah menggamit map. Tapi pulang dengan wajah muram. Suatu malam pak Win datang ke rumahku. Tidak untuk mengobrol atau bermain catur.tidak sudah
“Pak de, tolong beri aku pinjang sekedar untuk ongkos bus. Besok aku ke rumah teman di luar kota. Entah untuk berapa lama. Tolong lihat keadaan keluargaku.”
                                                              ***
     Sore itu aku sedang memperbaiki pagar halaman. Sejak pagi hujan lebat di sertai angin kencang turun. Sebatang pohon di seberang jalan tumbang menimpa pagar pekarangan rumahku. Seandainya pak Win ada, tentu akan ringan tangan membantuku. Tetapi sudah seminggu pak Win belum pulang. Istrinya juga sudah tidak perduli akan keberadaan pak Win.
Tiba-tiba pegawai pos bersepeda motor masuk halaman rumah pak Win. Keadaan rumah sepi. Karena tidak orang, aku menghampiri pak pos.
“Ini rumahnya pak Winarta, pak ?”
Siapa ? Pak Winarta ?
Aku mengamati selembar wesel di tangan pak pos. “Kepada Bapak Drs.Winarta.” Pengirimnya sebuah media beroplah besar ibukota. Di bawah wesel tertera kalimat singkat : “Honor atas cerpen anda yang berjudul “MENIKMATI BIRUNYA LANGIT DARI DALAM KAMARKU’.Karya berikutnya di tunggu.”Pak pos menitip wesel itu kepadaku untuk di sampaikan ke pak Win.
     Istri pak Win menerima wesel dari tanganku dengan gembira. Sambil meneteskan air mata istri pak Win bercerita kalau pak Win memang seorang sarjana sastra Prancis. Pak Win bercita-cita menjadi seorang penerjemah. Tetapi sesampai di daerah ini suratan nasib dan takdir menentukan lain. Pak Win mewanti-wanti agar gelar kesarjanaannya di rahasiakan..
     Hidup sahabatku mulai cerah. Istri dan anaknya sudah bisa membeli pakaian baru. Utang ke tetangga di lunasi. Wesel terus berdatangan. Pak Win makin jarang bertandang ke rumahku. Sebab sepanjang malam di habisi di warnet.
                                                                      ***
     Malam ini pak Win bersama istri dan anaknya datang ke rumahku. Pak Win berpakaian baru, kemeja batik lengan panjang. Di lengannya menggamit sebuah kado besar.
“Pak de, aku sekeluarga datang minta pamit.Besok pagi-pagi berangkatnya di penerbangan pertama.”
Mau ke mana pak Win ? Aku mulai gelisah.
“Ke ibukota pak de. Aku dapat panggilan bekerja sebagai redaktur dan penerjemah  di sebuah media ibukota. Semua keperluan di sediakan perusahaan.Dari tiket pesawat, perumahan beserta perlengkapannya.Terima kasih atas bantuan dan pertolongan pak de. Aku belum bisa berikan apa-apa. Cuma ini yang bisa kuberikan.”
Aku sambut bungkusan besar itu tidak bersemangat.Sebab mulai malam ini aku akan kehilangan seorang sahabat yang tidak pernah mengeluh biarpun di dera cobaan.
Kuantar langkah pak Win sampai pagar halaman. Sementara dari dalam rumah masih mengalun bait terakhir lagu “Keagungan Tuhan.”
 .. . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Siapa ingin mengabdi
Berbhakti pada Illahi
Sentosa Slama-lamanya
Di dunia dan akhir masa.
                                                             ****************
                                                                                                              Nipah Kuning, Maret 2010.  







0 komentar:

Posting Komentar