Minggu, 20 Maret 2011

Banjir Sambas Bukan Takdir


Agus Wahyuni

Borneo Tribune, Sambas

SUNGAI Sambas kebanjiran, tujuh hari tujuh malam, nak bejalan kepayahan.

Geratak Sabuk bepatahan, dilanggar lanting, dari sembarang. Urang sabuk kebabangan, nak nyebarang kepayahan.

Oooo ngape tang gaye.. jikube..jikube …

Gimane lah udek.. jak udah takdir Tuhan.

Kalimat di atas adalah sepenggal bait lagu "Sungai Sambas Kebanjiran" yang dirilis tahun 1960-an. Lagu itu menggambarkan kisah, dimana Geretak Sabuk, salah satu jembatan peninggalan jaman penjajahan Belanda putus diterjang banjir. Dan sekarang lagu ini sudah melekat di hati masyarakat Sambas. Bahkan sebelum Kabupaten Sambas memisahkan diri dari Kota Singkawang. Dan hingga kini lagu musibah itu masih melekat di Kabupaten Sambas.

Banjir mengakibatkan aktivitas lumpuh. Para pegawai dan karyawan harus berpisah dari kantornya. Nelayan menjadi jauh dari kapalnya. Pelaku usaha kesulitan menjalankan usahanya. Begitu juga dengan nasib petani, harus rela berpisah dari lahannya.

Jika ditanya perasaan mereka karena banjir, yang ada tentu cemas, gundah, gelisah. Semua bercampur. Terutama bagi petani, berladang satu-satunya keterampilan yang dimiliki. Dengan berladang ia menghidupkan anak dan istrinya. Dengan kedatangan banjir pula, petani harus mengungsi.

Itulah yang dialami Hanafi, korban banjir, warga Desa Dayung Bersambut, Kecamatan Selakau, selama dipengungsian, akhir Desember lalu.

Ia terpaksa mengungsi bersama kelurganya dan 78 kepala keluarga (KK) lainnya, di Balai Pelatihan Pertanian, Desa Sungai Daun, Kecamatan Selakau. Waktu itu ketinggian air mencapai satu meter dari lantai rumah. Puluhan anggota Tagana datang dengan perahu motor. Dan mengangkut ratusan warga. Seketika itu desanya menjadi sepi.

Harta benda ditinggalkan. Rumahnya tergenang. Sementara padi sawah baru saja ia semai seluas dua borong dibiarkan tenggelam. "Gagal panen sudah pasti," cerita Hanafi.

Hanafi merupakan satu dari sekian petani padi asal Desa Dayung Bersambut, Kecamatan Selakau yang sudah belasan tahun menggarap lahan pertaniannya. Setiap mamasuki akhir tahun itu juga, ia selalu berada di pengungsian, jika air sudah naik ke permukaan rumahnya, ketinggian mencapai satu meter.

Selama di pengungsian, setiap harinya harus menjalankan aktivitas gotong royong. Ada yang membelah kayu untuk memasak. Mencuci beras. Memotong sayuran. Menyiangi ikan. Bahkan beberapa ibu-ibu sedang menyapu halaman.

Sementara anak-anak yang ikut orang tuanya mengungsi. Rata-rata masih duduk di bangku SD dan SMP. Mereka hanya bisa bermain bersama beberapa anak lain di seputar halaman. Beberapa dari mereka memperhatikan para ibu dan bapak mereka saling membagi tugas.

"Kebiasaan itu sudah dimaklumi warga yang mengungsi," kata Hanafi. Sebagai warga korban banjir yang menumpang.

Memang, disana untuk luas penampungan sangat cukup. Ada tiga barak yang tersedia. Masing-masing barak bisa menampung tiga ratusan orang. Jika menjelang siang, suasana terlihat ramai. "Maklum saja, tidak sedikit anak-anak ikut mengungsi. Teriakan, tangisan dan candanya ikut menggema. Lengkaplah sudah suasana pengungsian, kata Ruslan, juga korban banjir yang ikut mengungsi.

"Disini warga yang mengungsi rata-rata berwajah lama," kata Ruslan.

Tanpa disuruh pun, mereka sudah bisa menempatkan posisinya untuk membagi tugas. Karena dari pengalaman sebelumnya, paling cepat lima belas hari sampai sebulan.

Bagi Ruslan, banjir melanda Desa Dayung Bersambut berbeda dengan banjir di daerah lain, karena banjir ini, banjir kiriman. Sementara daerah lain karena disebabkan air pasang laut dan curah hujan tinggi.

Di desa kami hanya ada satu aliran sungai, yang menghubungkan langsung dengan Kabupaten Bengkayang. Sementara desa kami berada ditengahnya. Sungai tadi memang sudah dibangun dua pintu air, setinggi lima meter, yang ditempatkan di perbatasan Bengkayang dan kecamatan Selakau.

Nah, mengingat pintu airnya dekat dengan Kabupaten Bengkayang yang merupakan dataran tinggi, mungkin pintu air disana sengaja dibuka. Untuk mengurang debit air disana yang juga ikut terendam. Sehingga aliran air tadi sampai di desa kami yang berada ditengahnya. “Butuh waktu lama menantikan air kembali surut,” kata Ruslan.

Setelah itu, air kembali surut , tepatnya (30/12), baik Hanafi maupun Ruslan beserta warga lainnya pulang dari tempat pengungsian. Kembali ke rumah. Seperti biasa, sesampainya di rumah, mereka membersihkan seisinya dari lumpur yang menempel, di dinding dan lantai, sisa banjir. Lemari kayunya lapuk dan mengelupas. Yang tersisa hanya barang-barang rusak yang terendam air lumpur berhari-hari, kata Hanafi.

Syukurlah, pulang dari pengungsian, Hanafi dibekali 5 kilo beras dan satu dus mie instan hasil pembagian dari Pemerintah Sambas. Jadi pulang ke rumah masih bisa makan bersama keluarga.

”Sudah dua minggu saya tidak berladang, pastinya pendapatan tidak ada.” Memang penghasilan berladang tidaklah cukup untuk kebutuhan sehari- hari. Istrinya bernama Nurmala hanyalah ibu rumah tangga saja. Sementara kedua anaknya baru duduk

Di bangkus SMP dan SD.

Sebagai penghasilan sampingan, saya mencari kayu cerucuk di hutan. Memakan perjalanan tiga hingga empat kilo. Satu hari ia bisa dapat lima hingga sepuluh batang. Untuk satu batangnya ia jual di penampungan seharga Rp 2.500 per batang.

“Pekerjaan sampingan itu juga diikuti petani disini.” Untuk mencukupi kebutuhan dapur dan ketiga anaknya yang masih sekolah.

Jika banjir sudah datang, aktvitas pun lumpuh total. Tidak bisa mencari kayu di hutan dan tidak bisa berangkat keladang. Sambil menunggu air naik, yang bisa dilakukan hanya memancing ikan di sungai terdekat. Itu juga diikuti warga lain. “ Lumayan satu dua kilo bisa ia dapat. Ikan betok dan ikan gabus.

Setelah itu, ia dipertemukan lagi dengan sawahnya seminggu lebih ia tinggalkan. Lalu menyemai kembali padi yang mati. Untuk bibit, ia dan 78 KK lainnya mendapat bantuan dari kecamatan untuk menanam kembali padi yang rusak akibat banjir. Baru saja disemai, memasuki, Senin (5/1), hujan kembali mengguyur, hampir merata di 19 kecamatan, kabupaten Sambas. Itu berlangsung tiga tanpa berhenti. Hampir semua warga menduga. “ Banjir datang lagi.” Dan itu terbukti adanya, sawahnya kembali tergenang, padi puso tak dapat dihindari.

“Jika sudah begini, sumber penghasilan kembali akan lenyap,” tuturnya.

Puncaknya, Jumat (16/1), Tiga ratus tujuh puluh satu jiwa korban banjir, Desa Dayung Bersambut, Kecamatan Selakau dievakuasi. Dan aktivitas pertanian kembali lumpuh total. 998 rumah di kecamatan Selakau terendam. dengan ketinggian air rata-rata 10 sampai dengan 30 centimeter dari lantai rumah. Ini melanda di beberapa titik titik desa, diantaranya, Semelagi Besar, Sui Daun, Twi Mentibar dan Bentunai.

Banjir juga melaus di kecamatan lainnya dengan tinggi air mencapai 200 centimeter dari lantai rumah.

Dari data Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Kabupaten Sambas per (15/1), Banjir paling parah melanda Kecamatan Teluk Keramat. Di kecamatan itu, 1.522 KK rumahnya terendam banjir hingga satu meter di 14 desa Desa yang tergenang meliputi Desa Kp Keramat, Mekar Sekuntum, Samustida, Teluk Kembang, Pipiteja, Lela, Tanjung Keracut, Sungai Kumpai, Tambatan, Sungai Baru, Teluk Kaseh, Berlimang, Sengawang, dan Puringan.

Di kecamatan Sebawi, sebanyak 911 jiwa dari 217 KK diungsikan diantaranya di SDN 05 Sebawi, SDN 04 Spuk Tanjung dan SDN3 Sungai Sebedang.

Sementara di kecamatan Salatiga, 354 KK dari lima desa terendam banjir, dan semuanya diungsikan di rumah keluarga dan di posko desa. Lima desa tadi diantaranya, Desa Salatiga, Sungai Toman, Serunai, Serumpun dan Parti Baru. Untuk kecamatan Pemangkat, desa Harapan sebanyak 95 orang dievakuasi di SMAN 1 Pemangkat.

Dan kecamatan yang mengalami banjir, diantaranya, Kecamatan Selakau, Semparuk, Sajad, Teluk Keramat, Sejangkung, Tebas, Salatiga, Jawai Selatan, Pemangkat, Galing, Sajingan Besar, Selakau Timur, Sambas, dan Jawai.

Segalanya terjadi dengan mendadak. Bibit padi baru saja disemai. Tenaga dan keringat dipertaruhkan. Untuk menggarap ratusan meter persegi petak sawah. Tiba- tiba hujan deras mengguyur. Perlahan, air mulai naik. Dari satu centimeter hingga satu meter. Lalu menenggelamkan semuanya. Padi dan rezeki petani.

Memang, jauh sebelumnya, tepatnya, Selasa (7/10) lalu. Sekretaris Daerah Kabupaten Sambas, Tufitriandi memprediksi bahwa Sambas memasuki akhir tahun akan mengalami bencana yang banjir yang cukup besar secara merata.

Kemudian ia membuat surat edaran isinya berupa himbauan dan menyiagakan kembali Satlak BP. Namun himbauan tadi memang realistis sekaligus menunjukan ketidakmampuan dan rasa frustasi pejabat daerah dalam menanggulangi banjir.

Bencana banjir yang terjadi di sejumlah kecamatan tersebut, telah menyebabkan para petani mengalami kerugian yang cukup besar.

“Rata- rata kerugian tiap petani akibat banjir bisa mencapai Rp 5-7 jutaan,” kata Armawi, Kepala Desa, Gayung Bersambut.

Ia mencontohkan, rata- rata petani di desanya memiliki sawah seluas 200 meter persegi. Dan bisa menghasilkan setengah ton padi. Jika dihitung satu kilo Rp 2400-2500, berkisar 5 jutaan bisa petani dapatkan. Hasil panen itu bisa dilakukan setahun dua kali. Mengingat setiap akhir tahun selalu banjir, jadi petani hanya bisa menikmati setahun sekali.

Sementara data dari Kasi Tanaman Pangan dan Holtikultura, Dinas Pertanian Sambas, Nazimi, tahun 2008 dilaporkan, akibat banjir yang melanda sebanyak 3069 hektar padi gagal panen karena puso. Kerugian petani terutama pada biaya tanam, pupuk dan benih yang telah dikeluarkan.

Jika dihitung satu hektare saja, untuk biaya sarana produksi pertanian sekali musim tanam termasuk keuntungan yang didapat sebesar Rp10 juta lebih, maka total kerugian petani kita akibat banjir mencapai Rp 30 miliar.” Dengan asumsi, 1 hektar bisa menghasilkan 3,5 ton dikalikan satu kilo padi seharga Rp 2.400-2.500. “ Itu belum termasuk biaya produksi, seperti pupuk dan bibit padi, kata Nazaimi.

Untuk tanaman lainnya, yakni jeruk, per petani juga mengalami kerugian hingga Rp 6 juta akibat banjir, karena buah yang siap panen mengalami keguguran akibat terlalu lama terendam air. Dengan asumsi hasil panen jeruk 50 keranjang, satu keranjang 40 kilogram atau 2.000 kilogram dikali Rp 3.000 perkilonya, kata Fahmi, kepala Desa Sempalai, Kecamatan Tebas.

Sementara untuk perkebunan, dari data Satlak PB, per (15/1), di Kecamatan Teluk Kramat, seluas 4.073 hektar kebun karet milik rakyat, sementara ini tidak bisa ditoreh, karena terendam banjir.

Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas, Ateng Hartono mengatakan, tahun 2006 saja, luas panen padi sebesar 75.109 Ha, pada tahun 2007 meningkat sebesar 4,53 persen, dimana luasnya menjadi 78.515 Ha.

Sementara untuk produktivitas tanaman padi, tahun 2006 sebesar 31 ku/ha, sedangkan tahun 2007 meningkat menjadi 32,43 ku/ha.

Dan untuk tanaman padi sawah memberi kontribusi terbesar terhadap produksi padi di Kabupaten Sambas. Berdasarkan data 2007, dari total produksi padi yang mencapai 254.610 ton, sekitar 96,98 persen berasal dari padi sawah dan hanya 3,02 persen dari padi ladang.

Dan untuk luas areal jeruk Siam Sambas, saat ini mencapai 6.928,07 hektar. Areal tanaman yang sudah berproduksi mencapai 3.389, 39 Ha dengan produksi mencapai 13.595, 17 ton. Pada tanaman yang telah berumur antara 3-4 tahun, rata- rata produktivitas tanaman berkisar 10 kg-15 kg per pohon.

Semakin terpuruknya petani padi di kabupaten Sambas yang sering dilanda banjir, Ketua Ikatan Sarjana Pertanian, Misni Safari berkata, pemerintah Kabupaten Sambas perlu menciptakan sistem pertanian modern, karena sistem bercocok tanam yang ada sekarang dinilai kurang dalam peningkatan produktivitas hasil pertanian, khususnya padi.

Sistem pertanian modern yang dimaksud, dengan menerapkan jenis pertanian yang disesuaikan dengan iklim. Karena pertanian yang ada masih tergantung dengan iklim.

Ia mencontohkan, banyak petani saat menyemai padi, memasuki akhir tahun selalu kandas karena padinya terendam air. Itu disebabkan petani kita tidak tahu kapan banjir datang. Karena banjir tidak bisa diprediksi. Dan diperparah lagi, baik Dinas Pertanian maupun penyuluh pertanian seakan berdiam diri tanpa ada suatu langkah yang nyata untuk petani. “Kapan waktu harus menyemai dan kapan waktu panen.”

Ia mencontohkan seperti negara Jepang, dimana petaninya menanam jenis tanaman yang disesuaikan dengan iklim, seperti daerah yang beriklim salju, maupun tropis. Dan pemerintah Jepang sendiri sudah memetakan daerah pertanian yang dimaksud.

Untuk Pemerintah Kabupaten Sambas perlu meniru seperti pertanian Jepang. Selalu memetakan daerah, mana yang cocok lahan pertanian dan mana yang cocok untuk lahan perkebunan.

Itu artinya, jika banjir sudah menjadi agenda tahunan, pemerintah daerah harus cepat tanggap dengan cara mengalihkan masih memungkinkan untuk pertanian atau tidak.

Akibat Banjir, beberapa aktivitas produksi dunia usaha kecil menjadi terganggu mengakibatkan tidak bisa produksi dalam beberapa hari, salah satunya, Anen, pemilik kengrajin keranjang bambu, desa Sempalai, kecamatan Tebas.

Sejak (5/1), hujan mengguyur daerahnya, mengakibatkan tempat produksinya mengalami genangan air, sehingga empat hari usahanya tidak berproduksi. Sehingga ia alami kerugian berkisar Rp 5 jutaan. Asumsinya, dalam sehari ia memproduksi 150 keranjang dan ia jual dengan harga Rp 15.000. Hasil tadi jika dikalikan tiga hari saja alami banjir. Kerugian tadi belum ditambah dengan pengrajin keranjang bambu lainnya. Untuk desa Sempalai sendiri , kurang lebih ada 20 usaha serupa seperti Anen.

Belum lagi kerugian kendaraan bermotor alami mogok akibat beberapa ruas jalan terendam hingga ketingian air mencapai 50 centimeter.

Toto, pria yang bekerja di bengkel “Murni Motor “Jalan Gusti Hamzah, Sambas, mengatakan, dalam sehari, setidaknya 40 motor singgah di bengkelnya. Penyakit sepeda motor tersebut sama, mogok gara-gara banjir.

“Kalau hari biasa, hanya 10 sampai 15 motor saja yang datang ke sini, tapi sekarang jauh lebih banyak,” ungkap Toto.

Kebanyakan motor yang mogok itu, gara-gara nekat menembus banjir. Dan rata-rata sepeda motor yang mogok karena busi, karburator, dan saringan udara yang terendam air. Untuk tarif rata- rata dikenakan pada pemiik kendaraan berkisar Rp 10 ribu sampai 30 ribu. Itu belum termasuk jumlah bengkel lainnya yang mengalami ketiban rezeki, lagi- lagi akibat banjir.

Itu belum ditambah dengan berapa kerugian bagi pelaku usaha budidaya udang dan bandeng dalam tambak, kemungkinan tambaknya jebol akibat banjir, meskipun belum ada data resmi dari Dinas Perikanan Sambas.

Di kecamatan Selakau misalnya, jumlah areal budidaya tambak mencapai 352,8 hektar dengan estimasi produksi 105,84 ton per tahunnya. Pemangkat sekitar 1.219,0 hektar dan estimasinya mencapai 365,70 ton pertahun, di Jawai, luas potensi 1.300,3 hektar, estimasi produksi mencapai 524,49 ton pertahun, Teluk Keramat luas 500,0 hektar, estimasi produksi 150,00 ton pertahun, dan Paloh luas potensi mencapai 2.637,5 dengan esetimasi produksi tiap tahunnya mencapai 791,25 ton pertahun.

Banjir juga mengakibatkan kerugian non fisik, salah satunya terjadi penambahan jumlah pengangguran di Kabupaten Sambas. Kepala BPS Sambas, Ateng menyebutkan, sebagian besar, yakni 71,43 persen atau 255.241 orang penduduk usia 15 tahun ke atas di kabupaten Sambas bekerja di sektor pertanian. Jika banjir kali ini melanda hampir merata di sejumlah kecamatan kabupaten Sambas, kurang lebih 255.141 sudah bisa dipastikan menganggur.

Bagi Ateng, sektor pertanian, selain memberi pangsa pasar tertinggi terhadap prekonomian kabupaten Sambas, juga memberi kontribusi terbanyak penyerapan tenaga kerja.

Hasil Sakernas, kondisi Agustus 2007, menunjukkan sebagian besar pekerja yaitu 32,37 persen status pekerjaannya adalah sebagai pekerja tak dibayar. Sekitar 29,85 persen merupakan pekerja dengan status berusaha dibantu buruh tidak tetap. Sekitar 16,98 persen status berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain. Dan sekitar 15,31 persen status pekerjaannya sebagai buruh, karyawan dan pegawai.

Itu artinya Tingkat Produktif Relatif (TPR) yakni perbandingan antara kontribusi sektor pertaian terhadapap prekonomian dengan kontribusi tenaga kerja terhadap total tenaga kerja sebesar 43,10 persen. “ Angka yang cukup besar,” kata Ateng.

Jika ditanya berapa keseluruhan total kerugian akibat banjir, ternyata Pemerintah Daerah tidak ada yang bisa menjawab, meskipun banjir yang melanda bukan yang pertama kali.

Buktinya, pada saat saya bertanya pada wakil Bupati Kabupaten Sambas, Juliarti yang juga Ketua Satlak PB Sambas tak bisa menjawab, berapa sebenarnya total kerugian akibat banjir.

Hal senada juga dilontarkan Kepala Badan Perencanaan Daerah Sambas, Sanusi, ia hanya berkata, “Bapeda tidak punya data total kerugian banjir tahun 2009 dan tahun sebelumnya. “ Coba tanyakan pada Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi.

Lalu saya tanyakan pada kepala Dinas Nakertransos, Abdul Gafar, dan ia mengatakan, “Coba tanyakan pada kasi sosial, Muhaimin.” Jawabannya juga sama dengan Bapeda. Pihaknya tidak pernah mendata kerugian banjir sebelumnya. Yang dilakukan hanya berkoordinasi penanggulangan dan memberikan bantuan.

Begitu juga saat saya konfirmasi kepada Dinas Pekerjaan Umum, Kasi Sumber Daya Air dan laut, Abdul Latif, lagi- lagi jawabannya sama, tidak penah melakukan pendataan kerusakan infrastruktur akibat banjir.

Belum sampai disitu, saya kemudian bertanya kembali pada Dinas Pertanian, dari pengakuan Kasi Tanaman Pangan dan Holtikultura, Nazimi, dia hanya punya data luas areal lahan pertanian yang terendam tahun 2008, yakni 3069 hektar padi alami puso.”

Sementara tahun- tahun sebelumnya tidak pernah didata.

Hal senada juga dikatakan kepala Badan Pusat Statistik Sambas, Ateng Hartono, instansinya belum pernah mendata berapa kerugian sebenarnya, setiap banjir melanda kabupaten Sambas.

Namun ia berkilah, sebenarnya kerugian banjir bisa ditafsir dengan menggunakan tabel Input Output. Lama penghitungannya bisa dilihat dalam seminggu.

Namun untuk di Sambas sendiri, mutu SDM BPS masih rendah. “ Kita belum mampu untuk kesana, “ kata Ateng.

Dan terakhir, jawaban yang sama juga terlontar dari pengurus Satuan Penangulangan Bencana (Satlak PB) Kabupaten Sambas, Erwin, katanya data sebagian kerugian banjir sudah terbakar pada waktu sekretariat masih di kantor bupati yang terbakar beberapa tahun silam.

Senin (12/1) lalu, Bupati Sambas, Burhanuddin A Rasyid memantau lokasi terendam banjir. Ia tidak sendirian, beberapa instansi terkait juga ikut mendampingi. Sebut saja, Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Dinas Kesehatan. Dengan menggunakan 3 kapal motor. Rombongan bertolak dari rumah Bupati Sambas menuju Desa Jambu dan beberapa desa di Kecamatan Sajad, Sejangkung, dan Kecamatan Tebas yang merupakan titik banjir.

Sebuah pemandangan biasa, seorang pejabat mengunjungi warganya yang tertimpa musibah. Dan pemandangan itu bukanlah yang pertama kali. “Setiap ada banjir, selalu ada kujungan dari pejabat.”

Namun yang mengherankan, saat ditanya berapa total kerugian banjir untuk Kabupaten Sambas. “ Tidak ada yang bisa menjawabnya.”

Jadi, jelaslah sudah, kunjungan yang dilakukan pejabat hanya bersifat seremonial saja. buku dan balpoin memang dibawa, tapi tak pernah untuk dicatat.

“Berapa kerugian banjir.” Pertanyaan yang gampang- gampang susah, Bukan?

Aktivis lingkungan, juga sebagai Direktur Lembaga Pengkajian Arus Informasi Regional, Deman Huri menyimpulkan, sebab banjir yang melanda Kabupaten Sambas dan daerah lain karena kerusakan hutan.

Apabila kita melihat lebih seksama, banjir bukan semata-mata proses alamiah karena meningkatnya intensitas hujan, tetapi bencana banjir karena semakin meningkatnya eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan tidak terkendali. Banjir yang terjadi merupakan dampak atas kebijakan pembangunan yang belum memberikan sentuhan positif terhadap tata ruang dan pengelolaan sumber daya alam.

Sekjen Serikat Tani Serumpun Damai, Syahrial berkata, Pemda tidah pernah mau belajar, karena banjir ini telah terjadi berulang-ulang dari tahun ke tahun, maraknya penerbitan izin tambang dan konversi hutan menjadi perkebunan sawit skala besar menjadi penyebab utama bencana banjir ini.

Selain itu, rendahnya tingkat kemampuan hutan sebagai kawasan penyerap air, penyimpan air, dan mendistribusikannya secara alamiah menyebabkan banjir tersebut. Kondisi hutan yang semakin rusak akibat adanya penghancuran sumber daya alam yang menjadi penyebab semua ini.


Jadi, jelaslah bahwa kesalahan dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan kemampuan daya dukung atas lingkungan merupakan penyebab utama dari bencana banjir tersebut. Juga jelas terlihat bahwa eksploitasi sumber daya alam tidak pernah memperhatikan aspek ekologis serta sosial.

Kembai ke Deman, kita melihat hutan selalu dipadang dari kacamata draiven market (dorongan pasar), sehingga masyarakat dan pemerintah berlomba-lomba mengekplotasi hutan secara besar-besaran tanpa memerhatikan kelestarian dan nasib generasi akan datang.

“Sesuai dengan teori ekonomi, mengeluarkan modal sekecil-sekecilnya dan mengambil untung sebesar-besarnya.” Begitu juga dalam pengelolaan di sektor kehutanan. “Para pengekplotasi hutan enggan mengembalikan hutan ke bentuk semula, karena akan mengeluarkan modal yang besar,” katanya.

Ketika melihat sektor kehutanan hanya dari sisi draiven market, maka menyebabkan konversi lahan berlebihan, misalnya mengubah lahan hutan menjadi perkebunan dan pertambangan seperti yang dilakukan oleh perusahaan di sektor perkebunan di Kalbar.

Salah satu indikasi, Deman menyebutkan, karena saat ini selalu adanya benturan kepentingan, antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Benturan kepentingan ini menyebabkan terjadinya mismanajemen dalam penggelolaan sumber daya hutan. Ia mencontohkan, pemerintah pusat memplot kawasan hutan A menjadi kawasan konservasi, sementara pemerintah provinsi dan kabupaten memplot kawasan hutan tersebut dijadikan kawasan perkebunan, sehingga konflik berkepanjang antara pemerintah pusat dan daerah ini juga ambil andil dalam perusakan hutan.

Yang jelas kesemua faktor tersebut telah menyebabkan kerusakan di sektor kehutanan, sehingga terjadi prahara di sektor tersebut. Yang lebih dikenal dengan prahara ”mahkota hijau”, sektor kehutanan yang dahulu kala menjadi salah satu sektor dominan dalam memenuhi kebutuhan rakyat di sekitar hutan dan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan devisa negara. Namun sekarang, sebaliknya setelah terjadi prahara di sektor kehutanan, bencana akan selalu menghantui republik dan daerah ini. Pemerintah harus menanggung biaya sosial dan ekologis yang tidak terhitung nilainya.

Jika ini tidak ditanggapi dengan serius, bencana akan selalu menghantui daerah ini. Seperti, banjir, kemiskinan, musnahnya ribuan keanekaragaman hayati, kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan berbagai bencana lainya.

“Bencana yang terjadi saat ini tidak akan hanya dirasakan oleh generasi saat ini saja, tetapi bencana ini akan berlanjut dan dirasakan oleh anak cucu kita. Apabila prahara Mahkota Hijau terjadi terus menerus dan tidak diatasi secara serius, ungkap Deman.

Kasi Pemantauan dan Pengawasan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sambas, Jimmi membenarkan, hutan memberikan pengaruh pada sumber alam lain melalui tiga faktor yang berhubungan, yakni iklim, tanah dan pengadaan air di berbagai wilyah. Apabila hutan ditebang atau rusak maka pengaruh hutan dan belukar terhadap iklim sangat terasa, misalnya, pohon- pohon semakin tidak mampu mengurangi kecepatan angin sehingga akan mengurangi penguapan air dari tumbuhan. Hutan juga berpengaruh terhadap struktur tanah, erosi, dan pengadaan air di lereng- lerang. Secara umum, adanya hutan dapat mengurangi banjir, karena hutan mampu menyimpan dan menahan air dalam tanah, mempertahankannya serta memperbaiki permeabilitas tanah dan ruang pori-pori dalam tanah. Akibat pengundulan hutan oleh penebangan kayu bertanggung jawab atas kira- kira 30 persen banjir yang terjadi.

Ini bisa dilihat daerah perbatasan Kabupaten Sambas, dimana kondisi penutupan lahan di wilayah itu menunjukkan trend penurunan dari tahun ke tahun. Akselerasi penurunan kualitas ini semakin meningkat sejak diberlakukannya otonomi daerah yang memberikan kesempatan luas pada masyarakat untuk mengelola lahan secara langsung, terutama pada kawasan hutan. Penurunan kualitas penutupan lahan pada umumnya berubah menjadi vegetasi kerapatan sedang- rendah (hutan sekunder), semak belukar, hingga lahan terbuka yang menjadi indikasi terbentuknya lahan kritis.

Ia menambahkan, faktor lain penyebab banjir, berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sambas tahun 2007. Berdasarkan kualifikasi iklim, wilayah kabupaten Sambas dikenal sebagai daerah penghujan dengan intensitas hujan di atas 2.000 mm pertahun. Pada tahun 2003 saja, rata- rata jumlah hari hujan bulanan adalah 16 hari dengan rata-rata curah hujan mencapai 358,17 mm perbulan. Intensitas hujan yang cukup tinggi ini, terutama dipengaruhi oleh daerahnya yang berhutan tropis dan disertai dengan kelembaban udara yang cukup tinggi, yakni berkisar antara 86-88 persen.

Kemudian, berasarkan topologi, Kabupaten Sambas pada umumnya landai hingga datar. Dilihat dari ketinggian tanah dan permukaan laut. Misalnya saja ketinggian antara 0-7 meter, terdapat di kecamatan Sejangkung, Sambas, Tebas, Selakau, Pemangkat , Jawai, Teluk Keramat, dan Paloh.

Dan tak kalah pentingnya penyebab banjir di Kabupaten Sambas adalah akibat pendangkalan muara sungai bagian hilir dari sebuah sungai, ini disebabkan kerusakan bibir pantai yang berhubungan dengan laut sehingga jika terjadi pasang surut air, sirkulasi aliran air menjadi terhambat.

Semestinya Pemda Sambas harus berkaca dari pengalaman. Banjir bukanlah musibah yang tidak ada obat penangkalnya. Menerjunkan ratusan tenaga relawan setiap tahunnya memasuki musim banjir tidaklah cukup mengobati penderitaan masyarakat yang menjadi korban. Meskipun ratusan bantuan logistik, baik itu sembako maupun obat- obatan didatangkan. Harus ada sebuah kebijakan untuk memerangi banjir dimulai dari sekarang, meskipun dana itu tidak sebanding dengan kerugian akibat banjir, kerugian tiap tahunnya mencapai ratusan miliyar lebih.

Menanggapi hal itu, Kepala Bidang Pengairan Sungai, Laut dan Air Baku, Dinas Kimraswil Kabupaten Sambas, Abdul Latif mengtakan, Pemda bukanlah tanpa usaha untuk memerangi banjir, salah satunya dengan menganggarkan dana untuk normalisai sungai. Tahun 2008 saja, alokasi dana yang digunakan sebesar sebesar Rp 21.828.027.000, dengan panjang sungai mencapai 470.910 meter di sembilan belas kecamatan. Normalisasi sungai ini berdasaarkan permintaan dari masyarakat melalui Musrembang di tiap desa.

Sementara Asbeni, Ketua Komisi B, DPRD Sambas, menilai, nomalisasi sungai tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi banjir yang terjadi, karena normalisasi hanya bersifat formalitas, artinya tidak melakukan kajian secara mendalam, titik-titik mana saja sungai yang mengalami pendangkalan.

Ia menyarankan agar pemerintah sudah saatnya membuat program kanalisasi yakni dengan membuat aliran air yang baru, dimana berfungsi untuk mengeluarkan air ke laut bagi daerah yang terendam banjir, seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta. “Ini lebih efektif, meskipun harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit,” katanya lagi.

0 komentar:

Posting Komentar