Kamis, 31 Maret 2011

GADIS BERJILBAB DI DEPAN ISTANA



Oleh : Uniek Anandapraya

Kebiasaanku yang baru sejak datang di kota ini,nongkrong di pintu gerbang keraton  Alwatzikhhoebillah menanti azan magrib.Dari bangku yang menempel di dinding aku bebas menikmati pemandangan di sekelilingnya.Ada bangunan keraton yang mungil dan asri di kelilingi pepohonan yang rindang. Mesjid besar, kokoh dan artitistik menghadap sungai. Di depan keraton terhampar halaman luas dilapisi beton. Sedangkan di depan gerbang utama terpajang dua buah meriam kuno.Kedua meriam ini menambah keangkeran dan kewibawaan keraton.
     Keraton dan mesjid jami’ yang di dominasi warna kuning terletak di tepi sungai.Sungai ini beda dengan sungai besar lainnya. Walaupun di layari kapal motor besar, tidak ada gelombang besar menghempas di bibir sungai. Sampan-sampan kecil aman dari hempasan gelombang. Karena itulah sungai ini dipilih sebagai tempat lomba sampan. Peserta lomba sampan bahkan diikuti dari Brunai dan negeri Jiran.Konon lomba sampan merupakan tradisi kerajaan  turun temurun sejak ratusan tahun. Keasrian sungai tertata apik, air sungai bersih dari pencemaran. Sebab tidak ada pabrik atau industri besar sebagai biang pencemaran.
      Ketika senja menjelang, panorama di depan keraton sangat indah. Di ufuk barat berubah jadi merah jingga saat matahari akan tenggelam.Cahayanya membias permukaan sungai membentuk lukisan raksasa. Kesyahduan kian terasa saat azan magrib berkumandang dari mesjid keraton. Lalu terlihat iringan jamaah menuju mesjid untuk menunaikan perintah Illahi.

     Sore ini kesehatanku kurang fit ketika aku duduk di gerbang keraton. Aku tidak sempat tidur siang karena pagi hingga sore meliput berita di dua tempat.Pagi hari meliput aksi demo masyarakat yang menolak kehadiran pengusaha sawit. Sedangkan siangnya meliput sidang kasus korupsi. Sepulangnya langsung menyiapkan berita dan mengirimnya ke redaktur. Berburu berita dan di buru waktu, langganan keseharianku.Sebagai seorang jurnalis aku berusaha menyajikan berita yang up to date. Sesuai motto dari mediaku, “Cepat, tepat dan akurat.” Aku tidak pernah mengeluh meskipun jatah tidurku hanya lima jam. Kepuasannu terletak pada hasil karya. Hati senang dapat menyelesaikan berita besar yang di tunggu pembaca.
     Karena kantuk kian menyerang aku tidak bisa menikmati keindahan panorama keraton seperti di hari kemarin. Aku menyandarkan tubuh ke dinding  lalu tertidur pulas. Tiba-tiba aku terkejut karena keadaan sekelilingku berubah. Di halaman keraton yang luas tidak kulihat anak-anak bermain sepeda mini. Yang tampak, prajurit keraton yang sedang latihan perang. Suara nyaring pedang beradu perisai memekakkan telinga. Di depan pintu keraton berdiri dua prajurit memegang tombak. Sedangkan dua prajurit  lainnya berjaga di depan meriam. Aku bangkit dan berjalan mengitari keraton. Prajurit yang berpapasan denganku tidak ada yang menegur. Mungkin karena aku berpakaian rapi memakai baju koko dan berpeci. Beberapa orang dayang sedang beristirahat di bawah menara. Mereka saling bercanda dengan bahasa yang tidak kumengerti.
    Langkahku terhenti di tepi sungai. Aku melihat banyak remaja sedang bercengkrama. Ada yang berjoget dan saling berbalas pantun. Sementara di tengah sungai terlihat kesibukan sampan yang sarat muatan hilir mudik. Tiba-tiba aku melihat seorang gadis berjilbab. Gadis itu menyendiri, terpisah dari teman-temannya. Aku perhatikan lebih dekat. Anggun dan berwibawa dengan balutan busana muslimah. Berkebaya warna putih mengkilap dipadu jilbab hijau daun sangat serasi dengan kulitnya yang putih. Kalau dibandingkan dengan artis ibukota, mirip pesinetron Innike Koesherwati. Aku seperti di hipnotis untuk lebih mendekat. Aku member hormat dengan sedikit membungkuk, lalu melantunkan sebuah pantun :
     Ikan jelawat terjaring pukat
     Meronta-ronta kesesalan
     Kalau boleh abang mendekat
     Abang ingin berkenalan.
Gadis berjilbab itu masih membisu. Dipandangnya aku lebih tajam.Kemudian rona merah membias di wajahnya kala berbisik dengan temannya. Lalu terdengar suara merdu disertai gerakan tubuh gemulai membalas pantunku :
     Burung bangau terbang lurus
     Mencari ikan dalam kolam
     Ku sambut abang dengan tulus
     Di hati yang paling dalam.
Aku bersorak kegirangan. Aku menyongsongnya lebih dekat sembari mengulur tangan, “Iqbal” sapaku. Aku “Uray Mawarni”, sambutnya ramah. Aroma parfum khas Timur Tengah yang harum menempel  di telapak tanganku.
“Uray kerabat keraton ?”
“Iya, ayahku kepala pengawal keraton.”
“Abang orang baru di sini ?”
Aku dari kerajaan seberang, bertugas di sini sebagai pewarta.Bolehkah abang bertanya. Mengapa Uray memisahkan diri  dari teman-temannya ? Bukankah jejaka di sini banyak yang ganteng-ganteng ?
“Aku punya kriteria dalam mencari pasangan. Salah satunya harus cerdas, berwawasan luas serta pintar mengaji.”
 Seandainya abang mencalonkan diri ?
Gadis berjilbab itu mengangkat wajahnya, menghujamku dengan tatapan  seseorang yang kesepian, haus cinta dan kasih sayang.
“Abang memang pintar dan cerdas.Seorang pewarta memang dituntut berwawasan luas serta menguasai bahasa. Tapi abang bisa mengaji ?”
Abang akan mencobanya meskipun tidak pernah berlatih sejak menjuarai lomba tingkat pesantren. Aku lalu melantunkan beberapa ayat Al-Kahfi.
Tidak kuduga. Ketika aku sedang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an tiba-tiba suasana jadi hening. Aktivitas terhenti. Semua mata tertuju ke arahku. Mereka mendengarkan dengan khusuk. Begitu selesai, mereka mengacungkan jempol. Mereka saling berebutan menyalamiku.  Sekilas aku melihat gadis berjilbab berlari ke arahku.
“Suara abang merdu sekali dan menjiwai bacaan. Aku bersyukur mendapat calon pendamping yang alim dan bijaksana meskipun berasal dari negeri jauh di seberang …….. “
Ucapan gadis berjilbab itu belum selesai, tiba-tiba handphone ku berdering mengeluarkan cahaya kelap kelip.Aku terkejut dan ketakutan. Dua orang pengawal keraton berwajah angker menghampiriku.
“Kamu mata-mata kafir penjajah ya ?”
Ampun tuanku. Aku pewarta, bukan seorang mata-mata.
“Bohong, buktinya kamu bawa alat perekam.”
Pengawal itu menjambak rambutku sampai terjerembab. Sebelah tanganku di seret ke dalam gerbang. Kulihat gadis berjilbab mengejar dan menarik sebelah tanganku sambil berseru “dia pintar mengaji, dia bukan mata-mata. Lepaskaaaaa…..nn.”
Tapi usaha gadis berjilbab itu sia-sia. Pengawal makin beringas. Aku makin jauh terseret. Sayup-sayup aku mendengar rintihan gadis berjilbab itu memanggilku, Abang….. baaaang….”
Pengawal menyeretku ke sebuah sel yang kotor dan sempit.
“Mana alat perekam itu? Aku akan persembahkan kepada Yang Mulia Sri Sultan.”
Pengawal berusaha merebut handphone dari saku.Tetapi aku terus mempertahankan.
Ini alat komunikasi, bukan alat perekam. Jangan di ambil….jangaaaa…nn, teriakku.
     Tiba-tiba terasa pundakku di guncang. Samar-samar aku melihat seorang  tua berpeci hitam memegang pundakku. “Bapak tertidur dan bermimpi,mari kita shalat”, ajaknya.
Aku mulai sadar. Ingatanku mulai jernih. Sejak sore aku tertidur pulas dan di buai mimpi di gerbang keraton.Sambil beristigfar aku bergegas mengikuti jamaah yang akan shalat magrib. Sementara dari mesjid, suara bilal baru saja mengakhiri azan ….. Laailaaha Illallah…
*********
            Sambas, Maret 2010.







0 komentar:

Posting Komentar