Minggu, 20 Maret 2011

Menghapus Stiqma di Kampung Beting


Agus Wahyuni

Borneo Tribune, Pontianak
Semua berujung masalah ekonomi. Jika perut sudah lapar angka kriminalitas akan tumbuh di suatu wilayah. Mulai dari New Orleans di Amerika, Caracas di Venezuela, Cape Town di Afrika Selatan sampai ke Kawasan Kampung Beting, Pontianak, Kalimantan Barat.
Seharian Hendra gelisah di kamar rumahnya. Badannya keluar peluh keringat dingin seukuran biji jagung. Hari itu ia kehabisan uang sehingga tidak bisa membeli paket putaw. Tapi ia harus memikirkan cara bagaimana bisa mendapatkan uang.
Di rumah hanya ada Julpandi, ayah Hendra. Sedangkan Syarifah, ibu Hendra keluar ke rumah keluarga di kampung sebelah. Hendra mendekati ayahnya, dengan maksud meminta uang Rp 50 ribu. Katanya untuk memperbaiki sepeda motor.
Julpandi tidak menggubris permintaan anaknya. Karena setiap kali diberi uang selalu minta lagi. Bukannya malah pergi, Hendra terus memaksa ayahnya agar diberi uang.
Kemudian Julpandi mendekati anaknya. Melihat mata dan hidung Hendra berair sambil menggigil. Julpandi menebak anaknya sedang sakau. Lalu marah- marah kepada Hendra. Lama kemudian Hendra tidak sadarkan diri. Istrinya, Syarifah mengetahui kejadian itu hanya bisa menangis.
Melihat kondisi anaknya bungsunya tidak sadarkan diri, Julpandi dan Syarifah bergegas membawa Hendra ke rumah sakit masuk di ruang gawat darurat. Anaknya kecanduan narkoba. Ketika sudah siuman, mereka mengirim Hendra menjalani perawatan dan detoks di Wisma Sirih, Jalan Alianyang, Pontianak. Dari sana petugas menganjurkan anaknya ikut perawatan methadone di Rumah Sakit Umum Daerah Soedarso, Desember 2008.
Trauma mendalam karena putaw juga dialami Syabrani. Sebelum mengenal putaw ia lebih dulu memakai ganja dan shabu- shabu sejak di bangku sekolah. Ia memperoleh barang haram itu dari seorang bandar di samping rumahnya. Gara- gara barang haram itu hidupnya tidak karuan.
Ia harus berhenti sekolah menengah atas di Siantan, Pontianak Utara karena sering telat membayar uang SPP sekolah. Uang itu habis ia belikan barang narkoba.
Awal 2006 ia bertemu dengan teman yang menawarkan satu paket putaw. Katanya barang bagus. Lebih nikmat dari gelek sebutan bagi pemakai ganja. Ia mulai mencoba. Pertama dan ketiga diberi gratis. Selanjutnya harus membeli dengannya yang dijual Rp 200 ribu untuk mendapatkan empat paket putaw.
Jika tidak punya uang segala cara dilakukan. Ia nekat mencuri di daerah lain. Sasarannya rumah warga yang ditinggal penghuninya. Jika sudah berhasil mencuri barang itu dijual. Lagi- lagi untuk membeli putaw.
“ Setiap saya dapat uang selalu habis untuk membeli narkoba,” kata Syabrani.
Sebelum dipergok polisi ia cepat – cepat memutuskan bekerja. Sudah banyak temannya tertangkap polisi karena kasus mencuri dan merampok.
Tidak ingin bernasib sama ia memutuskan berwirausaha dengan berjualan asesoris dan buah di pasar Siantan, Pontianak Utara. Penghasilannya lumayan. Dalam sehari ia dapatkan Rp 60 - 100 ribu.
Dari penghasilan itu kemudian ia berumah tangga bersama istri dan satu anak berumur dua tahun. Sekarang tinggal di Beting. Tapi putaw membawa sugesti seumur hidupnya. Apalagi menjelang tidur bersama istri. Jika sudah sakau perasaan gelisah dan risih saat dekat dengan istrinya. Tak pelak perabot rumah tangga pecah berantakan jika sedang sakaw.
Rasanya ingin ngamuk saja,” kata Syabrani.
Kelakukan Saybrani membuat curiga istrinya. Pada akhirnya ketahuan juga belangnya dan istrinya langsung meminta cerai. Syabrani terpukul dan berusaha kuat tidak mengorbankan keluarga dari narkoba.
***
Hendra dan Syabrani contoh korban tidak berdaya dalam tekanan hidup di lingkungan sosial yang buruk, meski keluarganya hidup harmonis di Kampung Beting, Kelurahan Kampung Dalam Bugis, Pontianak Timur.
Kampung itu berdiri di atas sungai yang diapit dua sungai besar, Kapuas dan Landak. Eksotisme kehidupan pinggir sungai begitu nyata di kampung ini. Transportasi sampan dahulu merupakan sarana utama untuk menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari menyeberangi sungai Kapuas.
Menyusuri gertak atau jembatan kayu di pinggiran kampung beting merupakan pemandangan yang cukup menarik. Di kampung itu pula menyingkap banyak kehidupan era kesultanan Pontianak sejak berdirinya ibukota Kalimantan Barat pada tahun 1771.
Data Pemerintah Kecamatan Pontianak Timur 2009 memiliki luas wilayah 3,8 hektare dengan jumlah warga di Beting sekitar 3.209 jiwa, terbagi tiga RW dan 14 RT yang dihuni mayoritas penduduk Melayu.
Nama Beting diambil ketika warga mengikuti kegiatan pameran di Pasar Malam dengan berbagai kerajinan tangan masyarakat, kue tradisional, orkes, dan sandiwara.
Dalam dua dasawarsa kampung itu dikenal angker. Karena narkoba dan kriminalitas tumbuh subur di lingkungan yang sumpek dan kumuh tanpa struktur sosial. Semenjak kedatangan para bandar narkoba 1990 mereka memanfaatkan pemuda lokal dijadikan tenaga pengedar narkoba dengan imbalan lumayan besar.
“ Rata- rata per hari para pengedar narkoba bisa memperoleh penghasilan Rp 200 ribu- 1 jutaan daripada kerja buruh bangunan atau pendayung sampan,“ kata Yasir, pemuda Beting.
Beberapa warga ikut kecipratan hasil perdagangan narkoba. Para ibu- ibu juga dilibatkan membuat alat penghisap sabu- sabu atau bong sebagai mata pencaharian mereka. Para bandar juga memanfaatkan rumah warga untuk dijadikan rumah menginap tempat yang aman penyergapan polisi bagi pemakai narkoba dengan kisaran harga Rp 100-200 ribu per harinya.
Dari situ mulai banyak pemuda dari luar dan dalam Beting menjadi pemakai narkoba jenis putaw. Yasir perkirakan dalam sehari lebih dari 20 orang datang ke Beting membeli narkoba jenis putaw harga satu paketnya kisaran Rp 50-70 ribu. Belum termasuk pecandu narkoba jenis ganja dan sabu- sabu.
Dari hasil transaksi itu membuat para bandar layaknya “ Robin Hood.” Biasanya menjelang hari besar keagamaan sumbangan melimpah dari para bandar dibagikan kepada warga Beting.
Siang itu kami membuktikan omongan Yasir melihat langsung pengguna narkoba dampingan Yasir di Kampung Beting. Melihat lebih ke perkampungan, ada satu rumah di atas air di pertengahan kampung.
Di dalam rumah sudah ada 5-7 orang pemakai narkoba jenis putaw mengunakan jarum suntik. Padahal pengguna narkoba rentan terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV).
Yasir juga anggota Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Pontianak. Perannya membagikan jarum suntik kepada pemakai di Beting. Per hari 50-100 jarum suntik habis dibagikan. Tujuannya menghidari penularan HIV melalui jarum suntik bergiliran. “ Karena sudah banyak kasus pecandu terinfeksi HIV,” kata Yasir.
Syarief Amin Alkadrie, seorang keluarga keturunan Kerajaan Pontianak, pernah mengatakan selama 25 tahun sampai sekarang, Kampung Beting belum terbebas dari narkoba. Beting sudah dicap sebagai sarang narkoba dan sudah menjadi masalah ruwet yang sulit teratasi.
“ Siapapun yang ke Pontianak pasti tahu Beting. Tahunya bukan soal sejarah, tapi narkobanya,” kata Amin.
Penataan kawasan Kampung Beting sebenarnya sudah lama dilakukan. Pada zaman orde baru, ketika RA Siregar menjadi Walikota Pontianak pada tahun 1960-1964 membuat kebijakan program peremajaan Beting Permai.
Walikota langsung menunjuk Camat Pontianak Timur, yang ketika itu dijabat Drs Sukardi untuk membentuk tim peremajaan tersebut. Beting dianggap strategis yang aksesibilitasnya bisa ditempuh dengan jalan darat maupun sungai.
Pada masa pergantian Walikota, program itu terhenti. Kampung Beting menjadi kumuh. Rumah-rumah padat berdiri di atas air. Jemuran diletakkan di depan rumah, di sepanjang jalan. Masyarakat selalu kesulitan mendapatkan air bersih dan banyak anak usia SD tidak sekolah.
Pemerintah dianggap tidak mampu memberdayakan warga lokal dan terjadi kesenjangan status ekonomi dan sisoal warga disana. Tak heran, banyak pemuda di sana kerja serabutan. Ada yang menjadi buruh, pengamen dan mencuri.
Begitu juga dengan pertambahan penduduk. Banyak warga luar menetap di Beting. Banyak pula warga Beting yang menikah dengan pendatang. Serta membawa keluarga lainnya menetap di Beting. Berkembangnya kawasan Beting memberi dampak negatif. Banyak warganya yang terpengaruh hal negatif dari warga luar. Salah satunya narkoba.
Walikota Pontianak, Sutarmidji mulai lagi melakukan penataan kawasan kumuh dan meningkatkan perekonomian masyarakat di Beting.
Pada tahun 2005, Pemerintah Kota Pontianak menjalin kerjasama dengan Bank Dunia melalui program Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP) dalam penanganan perumahan dan permukiman kumuh di perkotaan.
Dari kerjasama itu Pemerintah Kota Pontianak mendapat bantuan anggaran program NUSSP sebesar Rp21,6 miliar. Rinciannya, Bank Dunia Rp 13 miliar. APBD Kota Pontianak Rp8,6 miliar dan swadaya masyarakat Rp590 juta.
Tercatat, tahun 2009 Pemkot Pontianak sudah merehab 408 dari 1.002 unit rumah tidak layak huni termasuk di Beting. Sasarannya, penataan permukiman kumuh di sepuluh kelurahan dari 23 kelurahan permukiman kumuh. Ada 120 titik dengan prioritas pembangunan, yakni sanitasi, jalan gang, jalan lingkungan, permukiman yang tidak layak huni, serta pembangunan sarana mandi cuci dan kakus (MCK).
Tapi Kebijakan itu belum bisa menghapus stiqma di kampung Beting. Badan Penanggulangan Narkoba Pontianak mencatat Pontianak menjadi Kota keempat nasional terbanyak penggunaan narkoba dan obat- obat terlarang.
“ Masalah masyarakat Beting sangat komplek, “ kata Camat Pontianak Timur, Rizal Muthahar. Banyak pemuda Beting sulit mendapatkan pekerjaan.
Ketika mereka melamar pekerjaan ke perusahaan selalu ditolak. Biasanya perusahaan ketika melihat pelamar ber-KTP Beting langsung menolak. Bahkan sampai kredit motor masyarakat Beting kesulitan karena orang tidak percaya setelah melihat KTP nya KTP Beting.
Kapolda Kalbar, Brigjen (Pol) Erwin TPL Tobing, ketika itu berkunjung ke Kampung Beting, Rabu (16/9) mengatakan, “Stigma Beting harus dihilangkan karena tidak semua masyarakat Beting pelaku kejahatan.”
Disinyalir warga pendatang yang menjadikan Beting sebagai markasnya menjalankan aksi kejahatan. Biasanya, pelaku yang bermarkas di Beting kalau dikejar mereka lari ke gang-gang dan masuk ke rumah-rumah penduduk di mana satu sama lainnya saling menutupi sehingga aparat Kepolisian sulit menangkapnya, kata Kapolda.
Warga Kampung Beting perlu bantuan, tetapi kemiskinanlah yang harus dientaskan.
Methadone Antara Kebutuhan dan Harapan
Pada satu pagi yang cerah, Kamis, 10 Pebuari 2011. Pintu terbuka lebar di ruang Unit Gawat Darurat, Rumah sakit Umum Daerah Soedarso, Pontianak sudah ramai dijejali orang sedang antre memburu tiket di loket pendaftaran pasien.
Masuk lebih ke dalam lagi bertulis plang “Klinik Metadhone.” Di tempat itulah Hendra dan Syabrani bagian dari puluhan pemuda pecandu narkoba menyambung hidup bebas dari sakau
Mereka sedang antre di pintu loket menunggu giliran mendapatkan jatah methadone. Sesuatu opiat sintetik yang menyebabkan pasien akan mengalami ketergantungan fisik. Namun sifat kecanduan methadone tidak lebih buruk dari heroin. Program itu berasal dari pemerintahan Jerman melalui Global Fund untuk penanggulangan AIDS, TB dan malaria.
Diantara pengguna methadone paling banyak dari Beting. Namun banyak juga dari luar Beting.
Agus, pemuda Imam Bonjol menceritakan pengalaman hidupnya. Pada 2000 ia mendapatkan putaw dari teman ketika memancing di sungai kapuas. Ketika itu temannya menawarkan narkoba jenis putaw. Awalnya ia menolak. Tapi karena bujuk rayuan ia pun pemakai putaw.
Sampai akhirnya ia sakau karena putaw lalu kritis. Badannya tidak bisa digerakkan dan matanya tidak bisa melihat. Sehingga ia harus dilarikan ke RSUD Soedarso. Beruntung jiwanya bisa tertolong setelah menjalani perawatan selama hampir tiga minggu di rumah sakit.
“ Ketika itu, ada beberapa teman sudah lebih dulu menjalani therapy methadone tanpa sengaja melihat saya di rumah sakit,” kata Agus. Merasa iba melihat kondisi Agus sedang kesulitan menebus obat dan biaya perawatan di rumah sakit. Dan puluhan rekan methadone membantu biaya perawatan dan obat dengan cara melakukan patungan. Sampai sekarang Agus mengukuti therapy methadone.
Tapi, selama mengikuti therapy methadone ia tidak mendapatkan pelayanan baik dari pihak rumah sakit. Petugas methadone menerapkan peraturan membuka klinik pukul 10.00 – 11.00.
“ Lewat dari jam itu kami tidak dilayani,” kata Agus.
Padahal petugas juga sering datang terlambat. Tidak tepat waktu. Sampai- sampai rekan lainnya sudah keduluan sakau sebelum mendapatkan methadone.
Koordinator pecandu narkoba Pontianak, Deden mengatakan, kebanyakan pengguna methadone tidak memiliki pekerjaan tetap. Bahkan tidak kerja sama sekali.
Mereka setiap hari harus merogoh kocek Rp 10.000 untuk mendapatkan methadone di klinik rumah sakit. Padahal tidak semua memiliki uang cukup setiap kali membeli methadone di rumah sakit.
“ Ada yang membawa uang Rp 5.000 bahkan tidak sama sekali,” kata Deden. Beruntung solidaritas mereka kuat. Menerapkan sistem tanggung renteng.
Baginya, program itu masih menyisakan harapan bagi pengguna methadone. Bagi pecandu narkoba sugestinya seumur hidup. Telat saja mereka tidak mendapatkan methadone badannya akan sakau.
***
Pemerintah Kalbar menjamin ketersediaan methadon untuk jangka waktu lama. Sebab, program ini membutuhkan jangka waktu panjang untuk sampai pada tahap penyembuhan total. Caranya dengan menjalin kerjasama Global Fund, lembaga asing yang menangani masalah HIV AIDS, TB dan malaria.
Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy Sanjaya, juga ketua pelaksana harian Komisi Penanggulangan HIV AIDS (KPA) Kalbar mengatakan, dari kerjasama itu, Pemerintah Provinsi mendapatkan bantuan dana sebesar Rp 10,2 miliar untuk penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS tahun 2009.
Dana itu dibagi dua, pertama Rp 3,8 miliar untuk KPA disalurkan tujuh kabupaten yang masuk zona merah, dan Rp 6 miliar lebih untuk bantuan medis dinas kesehatan. Diharapkan APBD bisa mengimbangi karena tidak ada kabupaten/kota yang bebas dari penyakit infeksi tersebut.
Sejak 1993 - April 2010 di Kalbar ditemukan 2.451 HIV dan 1.246 kasus Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Paling banyak di Kota Pontianak ditemukan 1.170 kasus HIV positif dan 717 AIDS. Diperkuat lagi data Badan Penanggulangan Narkoba Pontianak, pengguna narkoba itu didominasi kalangan usia produktif 25-49 tahun sehingga rawan sekali terhadap kelangsungan hidup penerus bangsa.
Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Kalbar, Syarif Toto Thaha Alqadrie, mengusulkan mesti ada perubahan regulasi dalam penanganan endemis AIDS. Yakni dengan membagi metode penanganan melalui tiga kelompok.
Sebut saja, kelompok KPA fokus pada pendidikan, seperti meminta kepada setiap sekolah agar membentuk kader penyuluh narkotika muda. Pelatihan perlu diberikan agar dapat melakukan pencegahan dini. Dan menghindari jangan sampai berkembangnya penggunaan narkotika di kalangan pelajar, pemerintah dan lembaga lain mesti melakukan tes darah dan urine kepada setiap siswa di sekolah.
Begitu juga dengan peran Global Fund, dapat menjembatani informasi, dilakukan dengan memberi berbagai pengetahuan dan pelatihan dan memberikan berbagai akses informasi dan rujukan tentang pemulihan pecandu, dan pengobatan untuk pecandu narkoba.
Terakhir, melakukan pendampingan dan memberikan keyakinan pada keluarga tersebut. Bahwa, hidup masih bisa berjalan seperti biasa.
Aktivis Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS Kalbar, Rizal Ardiansyah menyatakan, penyuluhan bahaya narkoba dan HIV AIDS harus menjangkau semua pihak dan semua bidang terkait. Baginya, sosialisasi bukan hanya dikalangan atau kelompok tertentu saja, tetapi harus menyeluruh di semua tempat rawan narkoba dan HIV.

Hal lain, diperlukan indikator yang jelas di setiap stakeholder. Seperti bagaimana caranya menyampaikan sosialisasi yang menjangkau semua masyarakat di setiap bidang kehidupan. Selain
itu, diperlukan upaya dukungan terhadap terinfeksi HIV. Yang terpenting, pemerintah tidak terlena dengan bantuan dari Global Fund untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kalbar.
Tapi kita harus mandiri dan memerlukan penyadaran yang kuat, karena tidak selama kita mendapatkan bantuan,” kata Rizal.
Caranya, pemerintah harus sharing dana anggaran daerah. Dengan cara mengusulkan program yang kuat mencegah bahaya narkoba dan HIV tentu disertai dengan usulan dana yang cukup. Tentu dengan peran legislatif mendukung program pemerintah.
“ Dengan cara itu semangat hidup pecandu narkoba dan ODHA merupakan cara jitu memberi mereka kehidupan dan menjalani kesehariannya,” kata Rizal.

2 komentar:

Ayo pak Wali Sutarmiji, bantu Beting. Memang hrs kerja keras dan butuh waktu yg tdk sebentar tapi tetap hrs diupayakan

Posting Komentar