Minggu, 27 Maret 2011

Pendidikan yang Terlantar


Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Sambas

Kecamatan Sajingan Besar merupakan kawasan perbatasan langsung dengan Biawak, Malaysia Timur atau berada kilometer 90 dari Ibukota Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Tapi kondisi jalan perbatasan yang terjal dan berlubang membuat daerah itu terisolir. Yang berujung buruknya mutu pendidikan. Seperti kekurangan tenaga guru sampai tingginya angka putus sekolah.
Diantara jalan terjal itu berdiri bangunan Sekolah Dasar Negeri 04, Dusun Sasak, Desa Sentaban, Sajingan. Proyek tersebut diperkenalkan melalui Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 1973, tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. Karenanya, sekolah yang didirikan juga dikenal sebagai SD Inpres. Sekarang menampung 60 siswa belajar dan dibimbing tiga orang tenaga guru.
Pagi itu pukul 09.00. Lonceng berbunyi tiga kali. Tanda pulang sekolah. Puluhan siswa meninggalkan ruang kelas. Hary (13) bagian dari siswa disana. Saat temannya pulang sekolah Hary terpaksa berada di kelas.
Tas sekolah miliknya ditahan Felik, Kepala Sekolah. Karena Hary ketahuan bolos sekolah setiap kali mengikuti mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Tas itu akan dikembalikan setelah jam pulang sekolah. Sejak itu, Harry tidak mau kembali lagi ke sekolah. Tahun lalu.
Orang tua Hary, Amansius dan Hemita sudah berusaha membujuk anak tertua dari empat bersaudara itu tetap bersekolah. Termasuk keperluan sekolah Heri. Mulai dari uang jajan sekolah sehari Rp 5.000, seragam, sepatu dan buku tulis.
Tapi Hary sudah empat tahun tidak naik kelas lantaran tidak suka pelajaran IPA. Alasan itu membuatnya berhenti sekolah. Sebaliknya, Amansius tidak tinggal diam. Ia terus membujuk anaknya bersekolah.  Seperti membimbing anaknya belajar malam. Meski ia hanya sapai tamatan sekolah dasar. Cara itu tidak berhasil. 
Amansius menyerah dan berkata, “ Jika tidak ingin sekolah, besarnya mau jadi apa, “ kata Amansius kepada anaknya.
Setelah putus sekolah Hary lebih banyak menghabiskan waktu bermain bersama teman sebaya. Seperti memancing ikan di sungai, menoreh getah, hingga berburu kera di hutan. Jika ada pekerjaan proyek masuk desa, Hary melibatkan diri bekerja di proyek itu.
Hemita bercerita, sebulan lalu anaknya bekerja membangun jalan usaha tani di desanya dengan mendapat upah Rp 1.000 per meter. Dalam sehari ia bisa membawa pulang uang Rp 15 ribu ke rumah.
“  Uang itu ia kasi ke saya, katanya untuk beli lauk, “ kata Hermita.
Padahal ia tidak tega melihat anaknya bekerja di usia dini. Semestinya diusia itu Hary masih bersekolah, bermain dan belajar di lingkungan ia tinggal. Harapannya, kelak ia bisa menjadi orang yang berpendidikan di desanya. Tapi harapan itu pupus karena Hary tidak memiliki semangat  lagi bersekolah.
Nasib sama dengan Suridati (12), lebih memilih tinggal di rumah daripada pergi ke sekolah. Setahun lalu ia meninggalkan bangku sekolah kelas tiga SD yang sama dengan Hary.
Suridati merasa sekolah tidak memberi harapan banyak. Setiap kali kenaikan kelas ia selalu tidak naik kelas. Ia pun sering diejek teman di sekolahnya. Lalu meninggalkan sekolah.
Suridati memang berasal dari keluarga kurang mampu. Ayahnya, Yohanes sudah lama almarhum. Ekonomi keluarga ditampuk ibunya, Sariyah (45), kesehariannya bekerja sebagai penoreh getah kebun karet miliknya, seluas satu hektare.
Tapi Sariyah masih mampu menyekolahkan anaknya. Setiap hari anaknya berangkat ke sekolah Sariyah masih sanggup memberikan uang jajan Rp 1.000. Begitu juga dengan kebutuhan sekolahnya, seperti buku tulis, seragam, dan lainnya.
Tapi keputusan anaknya sudah bulat. Tidak ingin bersekolah. Alasannya Suridati tidak suka pelajaran Matematika sehingga membuatnya tiga kali tidak naik kelas. Saat ditanya cita-cita Suriadati, ia menjawab sambil bercanda, “ Mau bekerja di Malaysia saja, biar bisa bantu emak “ kata Surdati.
***
Tempat tinggal Hary dan Suridati. Daerahnya cukup terbelakang. Karena tidak ada penerangan listrik dan akses informasi kepada masyarakatnya. Warga mensiasati dengan menggunakan genset sebagai media penerangan malam hari.  
Sarana prasarana sekolah di desa itu minim. Hanya satu bangunan sekolah dasar negeri dan enam ruang kelas sebagai tempat belajar. Sarana penunjang lain, seperti perpustakaan dan alat peraga pendidikan sama sakali tidak ada. Parahnya lagi, jumlah tenaga guru terbatas dan asal mengajar.
Dengan segala keterbatasan itu membuat sistem pembelajaran di sekolah monoton. Para guru mengajar berdasarkan kurilukulum yang ada. Tanpa ada pengembangan metode pembelajaran yang diterapkan kepada siswa. Yang terjadi, siswa jenuh dan bosan mengikuti rutinitas belajar setiap harinya.
Perasaan itu dialami Hary dan Suridati. Hary tidak suka pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Suridati tidak suka pelajaran Matematika. Sedangkan peran guru dalam membina dan mendidik peserta didiknya diabaikan. Akhirnya, kedua siswa itu memilih berhenti bersekolah daripada tidak naik kelas terus- terusan.
Kepala Desa Santaban, Suwardi pernah mengeluarkan kebijakan menggunakan sebagian Dana Alokasi untuk membantu dan memberi semangat agar siswa di desanya bersekolah. Seperti memberikan seragam, buku dan tas sekolah.
“ Tapi upaya itu tidak mendapat dukungan pihak sekolah, “ kata Suwardi.
Mereka hanya tahu mengajar tanpa memperhatikan perkembangan peserta didiknya. Bahkan ada guru dan kepala sekolah datang ke sekolah sebulan sekali hanya untuk mengambil gaji. Selanjutnya mereka tidak pernah datang lagi menjalankan kewajiban mengajar ke sekolah.     
Diperparah lagi proses belajar mengajar di sekolah hanya berlangsung dua jam. Masuk jam tujuh pulang jam sembilan, berlangsung setiap harinya.
“ Permasalahan itu sudah saya sampaikan kepada pihak Dinas Pendidikan Kabupaten. Tapi tidak ditanggapi,” kata Suwardi. 
Lembaga Wahana Visi Indonesia pernah melakukan penelitian di daerah perbatasan Kalbar, termasuk Kabupaten Sambas di tiga lokasi, Teluk Keramat, Galing dan Sajingan Besar.
Karena tiga kecamatan itu berbatasan dengan Malaysia, Serawak. Hasil penelitian memperlihatkan adanya kebutuhan untuk melakukan program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat jangka panjang yang berfokus kepada anak di wilayah Sambas.
“ Yang lebih disorot adalah masalah etos kerja guru di perbatasan,” kata ADP Manager Sambas, Wahana Visi Indonesia,  Billy G.T Sumuan.
Dari sejumlah sekolah di perbatasan menemukan semangat guru mengajar di sekolah masih rendah. Mereka rata- rata mengajar hanya berdasarkan bahan ajar bukan melakukan pendampingan kepada siswanya. Tenaga guru disana tidak memiliki inovasi kreatif bagaimana mengembangkan kemampuan siswa dalam mengolah hasil pembelajaran yang dijalankan.
Seperti dialami Reno (15). Ia pernah duduk sampai kelas empat di SDN 09, Dusun Senipahan, Desa Santaban, Kecamatan Sajingan. Padahal ayahnya, Hamdi masih mampu menyekolahkan anaknya. Ia punya lahan karet tiga hektare lebih. Per hari Rp 100 ribu bisa ia dapatkan. Termasuk untuk kebutuhan anaknya sekolah.
Tapi, sejak Reno memutuskan berhenti sekolah, ia tidak bisa berbuat banyak. “ Kata anak saya malas sekolah karena tidak suka mata pelajaran Matematika, “ kata Hamdi, meniru perkataan Reno.
Reno pun memutuskan bekerja sebagai buruh perusahaan kelapa sawit. Kebetulan di desanya sudah ada sejumlah perusahaan menanamkan investasi ke perkebunan sawit. Mereka butuh karyawan dari warga setempat.
Awalnya Hamdi menolak keinginan Reno. Tapi anaknya memaksa dan memilih bekerja sebagai buruh sawit dengan upah per hari Rp 29 ribu sebagai tenaga menebas rumput dan memberi pupuk kebun sawit.
Selain Retno masih banyak lagi siswa memih bekerja daripada bersekolah. Program pendampingan Wahana Visi Indonesia mencatat ada 850 anak di Kecamatan Sajingan putus sekolah.
 “ Angka putus sekolah belum termasuk daerah lain di Kabupaten Sambas, “ kata Billy.
Semua bermuara pada sistem pendidikan yang salah dan tidak terarah. Penempatan guru di perbatasan hanya sekedar pemenuhan tenaga pengajar tanpa ada landasan pacu bagaimana meningkatkan mutu pendidikan.
Peran guru sekedar menstransfer ilmu melalui satu sumber. Bukan berusaha mencari sumber lain yang lebih inovatif dan kreatif. Alasan itu, Wahana Visi Indonesia memperkenalkan metode pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) bagi siswa di perbatasan.
Seperti menempatkan posisi duduk siswa di ruang kelas tidak semuanya menghadap ke depan, tetapi disusun berkelompok. Begitu juga dengan pajangan dinding kelas. Kebanyakan di sekolah, dindingnya bersih, apalagi ada moto bersih itu indah.
Dengan PAKEM bisa saja semua sisi dinding dipenuhi pajangan rumus Matematika, cuplikan berita di koran atau majalah, atau lukisan karya murid. Atau dinding sekolah di cat warnai – warni sehingga memberikan warna bagi siswa yang menikmati pembelajaran disampaikan gurunya.
“ Cara itu belum dilakukan oleh Dinas Pendidikan Sambas, “ kata Billy.
Pemerintah mengakui kekurangan itu. Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Sambas, Pawadi mengatakan PAKEM bisa saja diterapkan di sekolah perbatasan. Asalkan tujuannya baik. Memberi semangat siswa bersekolah. Tapi yang menjadi kendala sistem pendidikan di perbatasan adalah jumlah guru tidak sebanding dengan jumlah sekolah.
Perbatasan Kecamatan Sajingan Besar memiliki 1.519 siswa dari 13 sekolah dengan 76 lokal SD se-Kecamatan Sajingan. Sementara tenaga pengajar hanya berjumlah 77 orang. Bahkan ada guru yang mengajar empat mata pelajaran.
Ditambah lagi tunjangan guru yang sering telat dibayar karena akses jalan yang buruk.Tenaga guru honorer yang belum diangkat. Insentif yang kurang bagi guru yang di tempatkan di pedalaman. Sehingga mereka lari dari daerah tersebut. Syarat yang tak realistis dan diterapkan bagi para pendidik.
Buruknya infrastruktur juga berdampak kepada semangat siswa bersekolah menurun. Di Kecamatan Sajingan banyak siswa jarak dari rumahnya ke sekolah menempuh perjalanan jalan kaki 2- 3 jam perjalanan. Ketika siswa sampai ke sekolah tenaganya sudah terkuras sebelum menerima pelajaran dari guru.
“ Kondisi itu membuat semangat belajar mengajar siswa dan guru menjadi lemah,” kata Pawadi.
Bupati Sambas, Burhanuddin A Rasyid, sebelum menjadi Bupati pernah merasakan buruknya infrasturktur di perbatasan. Untuk sampai ke Aruk saja ia harus menempuh perjalanan ke Aruk Sajingan Besar sekitar 14 jam melalui jalur sungai dan jalan kaki.
 ” Padahal jika bisa ditempuh kendaraan roda dua atau empat, hanya memakan waktu sekitar dua jam saja” kata Burhanuddin.
Bandingkan dengan kondisi perbatasan di Malaysia memiliki sarana prasaran infrastruktur fisik pembangunan yang baik. Begitu juga dengan bangunan pendidikan dan kesehatan. Terjadi perbedaan yang sangat jelas.
 ” Makanya kami perlu perhatian pemerintah pusat melalui bapak dan ibu menteri,” kata Burhanuddin.
Permintaan itu ditujukan kepada dua Menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih dan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Ahmad Helmy Faishal Zaini.
Ketika mengunjungi Desa Aruk, Sajingan Besar, Sabtu 20 Maret 2010 membuat mereka berdua miris. Ketika itu, mereka menyempatkan diri berdialog langsung dengan siswa SMPN 1 Sajingan Besar, salah satu sekolah perbatasan, Aruk, Sajingan Besar.
Kedua Menteri itu kaget mendengarkan cerita siswa perbatasan. Seperti diceritakan Adrianus, tinggal di Desa Sungai Bening pergi ke sekolah harus berjalan kaki selama tiga jam. Sama halnya dengan Pensius berangkat dari rumahnya di Dusun Tanjung, Desa Keranji ke sekolah pukul  05.00 dengan memakan waktu sekitar satu jam untuk bisa sampai ke sekolah.
Mendengar cerita siswa perbatasan, Helmy minta dibangun asrama siswa dan guru diprioritaskan bagi siswa rumahnya jauh ke sekolah. Ia juga merogoh kocek pribadi sebesar Rp 200 juta sebagai bantuan awal pembangunan asrama guru dan siswa.
Kepala Dinas Pendidikan Sambas, Nurpinarto mengatakan, rencananya 2011 asrama akan dibangun di belakang bangunan sekolah SMPN 1 Sajingan, dengan daya tampung bisa mencapai 50 orang. Asrama itu ia prioritaskan kepada siswa yang kelas III agar siswa bisa fokus mengikuti mata pelajaran yang akan diujiankan.
Tapi pelayanan pendidikan yang diberikan pemerintah masih jauh ketinggalan dari tetangganya, Sarawak, Malaysia. Tokoh Pemuda Perbatasan, Anton pernah berkunjung ke sana. Tahun lalu. Di Sarawak, tidak saja bangunan yang megah. Setingkat sekolah dasar saja sudah tersedia sarana dan prarsarana penunjang belajar. Seperti laboratorium komputer, internet, bahasa dan balai pelatihan wirausaha untuk siswa.

Khusus untuk laboratorium pelatihan wirausaha, materi yang diajarkan, berupa service sepeda motor, service televisi, dan menggali potensi kekayaan alam yang ada untuk dijadikan barang jadi bernilai seni, seperti kerajinan tangan pengolahan kulit kerang menjadi pengias dinding dan meja.
Kerajaan Malaysia juga memberikan pelayanan pendidikan gratis kepada warganya. Mulai dari asrama, biaya makan, pakaian, buku, sepatu, tas sekolah sampai pada pemberian uang jajan siswa.
Tapi, Kerajaan Malaysia juga memberlakukan bagi warganya wajib menyekolahkan anaknya. Jika tidak, orang tua bersangkutan akan dikenakan denda sekitar RM 1400 atau sekitar Rp 4 juta. Jadi, tidak heran ada anak yang tidak ingin sekolah, orang tua selalu memaksa anaknya untuk bersekolah.
Bagaimana mengatasi pendidikan perbatasan Sajingan? Menurut Anton,  “ Kita jangan terlalu jauh membandingkan mutu pendidikan di Malaysia. Tapi bandingkan dulu mutu pendidikan di kota dan di perbatasan. Pasti ada perbedaan, ” kata Anton.
Seperti di kota, siswa sekolah dasar sudah bisa mengoperasikan komputer dan internet. Menikmati fasilitas di sekolah seperti tempat bermain dan belajar. Semu itua tidak didapat bagi siswa perbatasan masih serba kekurangan.
Yang terpenting, pemerintah harus menuntaskan kemiskinan warga perbatasan. Karena secara umum masyarakat perbatasan masih dalam lingkaran garis kemiskinan. Hanya bertumpu pada penghasilan lahan perkebunan karet dan sawah yang tersisa.
Setiap tahunnya lahan masyarakat hilang karena digusur oleh perusahaan perkebunan sawit dengan ganti rugi yang terbatas. Mereka yang dulunya menggarap kebun sendiri kini beralih profesi menjadi buruh perkebunan sawit milik perusahaan. 
Demi menyambung hidup ekonomi keluarga, orang tua lebih memilih anaknya membantu menoreh getah di kebun karet atau membantu berladang di sawah. Banyak anak yang tidak tamat SD terpaksa bekerja di luar negeri. Mereka dipaksa untuk tidak tamat SD oleh para calo-calo agar bekerja di luar negeri, terutama Malaysia.
“ Sehingga kemiskinan membuat kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya rendah, “ kata Anton.
Masalah ekonomi selalu dianggap sebagai pemicu utama. Padahal, pemerintah telah menerbitkan aturan mengenai Bantuan Operasional Sekolah yang diharapkan mampu menekan biaya pendidikan.
" Di perbatasan, mereka misalnya disuruh ke Malaysia untuk bekerja dan mendapat uang, ada juga yang diminta bekerja di ladang membantu orang tua," kata Pengamat Pendidikan FKIP UNTAN, Aswandi.
Pemerintah harus punya komitmen membangun perbatasan, bukan bagian belakang NKRI, melainkan garda depan. Anak perbatasan harus diperhatikan. Pendidikan antara daerah perbatasan dengan daerah yang tidak berbatasan harus memiliki perbedaan ciri khas yang berbeda.
“ Justru pendidikan di daerah harus lebih bagus, berkualitas baik pula,” kata Aswandi.  
Ada beberapa faktor menurut Aswandi yang mempengaruhi kendala masyarakat ingin mengenyam pendidikan di daerah perbatasan meliputi faktor geografis, sekolah dan tempat tinggal daerah perbatasan karena anak-anak dan guru memiliki jarak tempat tinggal yang jauh.
Faktor ekonomi juga berpengaruh dalam membangun sistem pendidikan perbatasan. Karena banyak anak yang sekolah di daerah perbatasan dalam pemenuhan perekonomiannya tergantung dari transaksi tukar barang sebagai nilai interaksi dagang. Begitu juga sosial kemasyarakatannya tidak bisa dilepaskan karena merupakan dinamika masyarakat memiliki hubungan komunikasi, adat yang berbeda satu sama lain.
Sekretaris Komisi D DPRD Kalbar, Andre Hudaya menyatakan perlu prioritas percepatan pembangunan pendidikan. Dinas Pendidikan Provinsi memang sudah melakukan pembangunan pendidikan tetapi tidak sesuai dengan harapan. Begitu juga dengan terbitnya surat keputusan Mendiknas tentang kualitas pendidikan untuk daerah perbatasan. Kepada Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar, dalam rangka memenuhi kekurangan guru.
Implementasinya harus segera melakukan koordinasi dan sosialisasi Surat Keterangan (SK) Menteri Pendidikan Nasional No. 7 Tahun 2010 tentang pemenuhan kebutuhan, peningkatan profesionalisme guru, peningkatan kesejahteraan guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah di daerah perbatasan dan pulau kecil terluar.
Beberapa pencapaian yang diinginkan adalah pemenuhan kebutuhan rumah dinas bagi kepala sekolah, dan guru. Prioritas kompetensi meningkatkan kualitas guru, kebutuhan akan tunjangan guru. Kewenangan itu berada di kabupaten. Sedangkan Departemen Pendidikan sekedar mendaftar nama-nama tersebut.
Karena profesi guru membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas. Yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.
Dan jantung dari sebuah sistem pendidikan, ada pada berbagai fasilitas dan perlengkapan sekolah yang memadai. Bukan pada gedung departemen atau dinas yang megah.



Edisi Cetak : 27 Maret 2011
Borneo Tribune

2 komentar:

kapan Cornelis printahkan dinas pendidikan bayar tunjangan perbatasan bagi guru.

Posting Komentar