Kamis, 24 Maret 2011

Kisah Seorang Sales


Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Pontianak

Sepulang mencari berita, siang itu, aku singgah di warung kopi, Nusa Indah. Biasa, melepas lelah. Aku duduk di bangku, paling sudut dari warung. Kunikmati kopi buatan maknyah, ditemani sebatang rokok. Oh, terasa nikmat sekali.

Dengan tubuh bermandi peluh, lelaki seumuran denganku duduk di sampingku. Pesanannya sama, segelas kopi. Dirogohnya sapu tangan usang. Dia mengelap dari dahi menuju muka. Lalu ia berkata, “Ada korek, Mas,” katanya. Dengan tarikan pertama, aku bertanya. Ia pun bercerita.

Namanya Debi Saputra (26), warga Jalan Koyoso, Surya Kencana. Ia salah satu alumni Politeknik Negeri Pontianak, Jurusan Mesin. Cita-citanya menjadi ahli mesin. Namun, cita-cita itu, kini buyar. Garis rejekinya untuk sementara, sebatas Sales. Sudah empat tahun, pekerjaan itu dijalaninya.
“Betah Bang,” tanyaku.
Ia tersenyum. Penuh arti. Sambil menikmati kopi, saya menikmati cerita Debi. Ia melanjutkan. Banyak rintangan yang dilalui Debi, sebelum terjun di dunia Sales, lima tahun lalu. Selepas tamat kuliah, ia sudah banyak memasukkan lamaran. Semua disebar. Kemanapun. Pada akhirnya, semua ditolak.

Untuk menyambung hidup, ia rela menjadi buruh bangunan di Mall Ayani. Kebetulan mall itu baru dibangun. Ia bekerja hingga sebulan. Tak tahan, ia berhenti. Ia juga pernah menjadi tukang sate, membantu tetangganya jualan di Pasar Teratai, Jalan Koyoso. Hingga pada akhirnya, ia melihat lowongan kerja di Koran. Ia melamar dan mulai menjalani training. Setelah itu diterima, kata Debi.

Menjadi sales sempat ditolak orang tuanya, Bujang Ibrahim dan Suhartati. Alasannya, mahal-mahal biaya kuliah, hanya jadi Sales. Tetapi setelah menjalaninya, “Alhamdulillah, penghasilan saya di atas rata- rata,” kata Debi.

Debi biasa berjalan di bawah terik matahari yang menyengat dengan pakaian rapi, berkemeja dan berdasi. Mirip orang kantoran. Yang membedakan hanya beberapa kotak, dan bungkusan. Sudah seluruh Kota Pontianak dikunjungi, sampai ke lorong-lorong dan gang kecil sekalipun. Jika ditanya berapa pintu, akan dijwab ribuan, kata anak tertua dari dua bersaudara ini.
Ia biasanya turun dari dari kantor pukul 07.00 wib. Ia menunggu oplet di persimpangan Polda Kalbar. Dengan rute awal Pasar Tanjungpura. Setelah puas mengelilingi, ia kembali naik oplet menuju komplek perumahan. Jalan kaki. Setiap hari rute selalu berbeda. “Jika sama, bisa bosan dong orang melihat saya,” kata Debi.
Biasanya dalam sehari, lima sampai enam pelanggan ia dapat. Satu pelanggan ia biasa meraup keuntungan Rp 20.000 hingga Rp 30.000. Tergantung cara menawarnya.
Dalam sehari, keuntungan yang didapat kurang lebih Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Itu belum dipotong ongkos naik turun oplet dan potong makan. Agar bisa menghemat, Debi tidak tinggal di rumah, melainkan tidur di kantor, CV Perkasa Mandiri, di Sungai Raya Dalam. Di sana lengkap. Ada kompor, kasur sudah tersedia.
Untuk hari libur ia manfaatkan waktu keluar kota. Biasanya target operasi di sekitar Singkawang, Bengkayang, dan Landak. Selain jalan- jalan di sana, juga menjadi lahan empuk mencari sasaran. Terlebih bila di pedalaman musim panen.

Banyak suka duka yang dialami. Lain pintu lain cerita. Tidak sedikit kejadian, saat hendak masuk ke rumah orang. Ada yang tiba- tiba langsung mengusir. Baik cara lembut atau kasar. Pernah di suatu perumahan, saat menjajakan barang dagangannya, ia hendak singgah di rumah lantai dua, dengan garasi cukup tinggi. Saat mengetok pintu, salah seorang penghuni langsung mengatakan, “Tidak ada orang.”
Ia panik. Sambil menoleh ke kanan dan kiri, ia berkata, “Jika tak ada orang di dalam, jadi siapa? Hantu dong?” celoteh Debi.
Dengan seketika, seorang ibu membukakan pintu, lalu menyapa, “Adek bisa saja. Mari masuk,” kata si ibu.
Tidak mudah untuk bisa menyakinkan orang, untuk membeli barang. Butuh waktu dan jam terbang lapangan. Semakin sering bertemu orang, semakin bertambah pengetahuan karakter seseorang.
Biasanya karakter orang sedikit sombong, ia tekan dengan harga tinggi, hingga lima puluh persen. “Menolak itu biasa, Bang. Bukan Sales namanya, jika tak tahan kata menolak.”
Pada prinrsipnya, orang sudah mau berbincang, sudah satu keuntungan bagi dirinya. Walaupun tidak membeli. Untuk menarik minat pembeli, ia tak segan memperagakan keampuhan dagangannya kepada pelanggan. Misalnya, alat pelangsing perut. Ia letakkan ke perut pelanggan. Dengan getaran magnetic yang bisa diatur kecepatan. Hanya beberapa menit saja. Tidak boleh berlama- lama. Nanti tak jadi beli.
Dengan begitu, pelanggan akan membeli produk yang dibawa. Tidak menutup juga pelanggan yang menolak. Alasannya, tidak punya uang. Ia juga tidak memaksa.
Ada cerita lucu yang dialami Derbi. Di suatu warung kopi. Ia melihat tiga orang bapak- bapak sedang berbincang di sampingnya. Tanpa ragu, ia menawarkan suatu produk yang dibawa, pencukur kumis otomatis.
Ia memperkenalkan diri. Lalu, menunjukkan barang produk tadi. Awalnya, bapak-bapak itu tidak tertarik. Selama ini, mereka mencukur kumis dengan silet. Ia berkata, alat itu memotong tidak dengan silet, tapi dengan batere. “Bapak tidak beli juga tidak apa, tapi tak sah kalau tidak di coba,” kata Debi menawar.
Bapak itu kemudian mempersilahkan Debi mempraktekkannya. Dengan berlahan, Debi mulai mencukur dari sisi kanan. Satu persatu kumis bapak itu terpotong, hingga terlihat licin di sebelah kanan. Seketika itu pula, Debi mematikan mesin pencukurnya. Bapak itu heran, kemudian panik. Kumisnya tercukur setengah.
“Saya hanya memperagakan cara kerja mesin ini pak. Tetapi tidak janji untuk mencukur tuntas,” kata Debi, sambil senyum. “Jika mau tuntas, beli dong Pak, Sepuluh ribu saja,” kata Debi.

Debi merupakan satu sosok diantara lulusan perguruan tinggi yang sulit mencari kerja. Menjadi Sales suatu pemberontakan bagi Debi. Disiplin ilmu yang ia luangkan tiga tahun lamanya di bangku kuliah, seketika menghilang sia-sia. Jauh dari cita-cita Debi sendiri dan kedua orang tuanya. Hanya satu jalan harus dilakukan. Bertahan hidup.

Tanpa terasa kopi kami hampir habis. Aku berpikir, masih pengalaman dan trik-trik menarik dari pengalamannya. Dan itu, jadi cerita menarik tersendiri.

“Nanti kita sambung lagi,” kata Debi.

Aku melihatnya berlalu. Yang nampak hanya punggung. Dengan punggungnya yang ulet itulah, ia menghidupi diri dan keluarganya. Berjalan dari rumah ke rumah, puluhan kilo meter jauhnya. □

Posting Minggu, 27 Januari 2008

1 komentar:

SALES IS THE BEST LESSONS OF LIFE

Posting Komentar