Minggu, 20 Maret 2011

Ketika Lingkungan Terjangkit HIV


Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Sambas
Sepasang kaki berkulit kulit putih mendadak melintang di depanku. Saat aku sedang menginjakkan kaki di Desa Sebangkau, Kecamatan Pemangkat, sebuah pemukiman lokalisasi.
Langkahku terhenti. Aku melihat seorang gadis cantik duduk di kursi melempar senyum. Lalu, dia mulai turun ke lantai. Lantas tangannya menarik tanganku agar aku mendekat padanya. Seketika itu, aku sudah duduk disampingnya.
Dan mulailah perkenalan.
“Sari” ia sebut namanya. Itu nama panggilannya. Nama sebenarnya Lusita.
Suasana saat itu terlihat ramai. Di belakang Sari masih ada Sari lainnya. Dengan berbagai posisi. Ada yang duduk di kursi memanjang. Dan ada yang bersandar di pagar pembatas teras. Sementara aku dan Sari duduk di kursi, cukup untuk berdua.
Suasana Desa Sebangkau memang terlihat ramai di malam hari. Untuk menuju kesana, menempuh jarak sekitar satu kilometer dari pasar Sebangkau. Dengan jalan beraspal, cukup untuk dilewati dua mobil. Cukup sedikit berbelok ke kiri sekitar seratus meter. Sudah terlihat suasana remang. Ada lima belas bangunan rumah berjejer rapi, lengkap dengan teras dan kursi panjang membentang. Di sana sudah duduk ratusan wanita malam, dengan farfum aroma khas masing- masing, siap menyambut tamu yang datang. Tak heran, jika malam libur, ratusan pria hidung belang, dari berbagai daerah, mulai dari Selakau, Pemangkat, Sambas, bahkan dari luar Sambas, mendatangi tempat itu. Apalagi kalau bukan menikmati hiburan malam.
Cukup dengan uang Rp 50 ribu, satu botol minuman keras, lengkap dengan canda wanita cantik, bisa didapat salah satu pusat lokalisasi, desa Sebangkau, Kecamatan Pemangkat. Dengan suasana remang, temaram lampu menyinari sebagian ruangan. Dentuman suara house music, melengkapi keramaian malam. Jika tertarik dengan gadis- gadis cantik tadi, seseorang harus merogoh kocek lagi, untuk bisa berkencan semalaman. Mengenai harga, pandai- pandai untuk bernegosiasi. Rp 50 ribu, itu sudah paling murahnya.
Tapa terasa, perkenalanku dengan Sari berlangsung satu jam dari ceritanya. Ia gadis Jawa. Satu diantara ratusan penghuni lokalisasi. Sudah 3 tahun ia menetap di sana. Yang kutangkap, ia bisa sampai di sini karena ajakan teman, yang lebih dulu menginjakkan kaki ke tanah Sambas. Sebuah daerah di pantai utara Kalimantan Barat, berbatasan langsung dengan Malaysia. Sambas juga yang terkenal dengan hasil jeruk dan lumbung padinya.
Awalnya, sejak tahun 2000, Sari biasa mangkal salah satu tempat lokaliasai di Jawa Tengah. Berhubung ia sering terjaring oleh operasi yang dilancarkan pemerintah daerah, Ia pun hanya pikir sekali untuk sampai di sini.
“Modal saya hanya badan dan sejumlah uang, untuk biaya trasportasi dari Jawa sampai kemari “ kata Sari. Dan untuk penginapan, saya tidak bayar. Saya ditumpangi, Mbak Ning, teman baru saya.
Sekilas memang tidak telihat ia keturunan Jawa. Kulit putih merona, dengan rambut panjang sebahu terurai, yang memandang pasti terkesima. Dengan lesung pipit di kanan bibirnya. Semakin lengkap keindahan wajahnya. Apalagi ditambah dengan pantulan sinar lampu temaram.
“ Di sini penghasilan cukup lumayan, “ kata Sari.
Rp 100 ribu bisa ia dapat dalam semalam. Jam kerja ia mulai dari pukul 20.00 hingga pukul 03.00. Mengenai tarif, ia gunakan sistem shoot time, artinya untuk sekali kencan Rp 50 ribu. Itu sudah harga biasa di sini. Dan biasa juga untuk langganan yang sering mampir di sini. “Barangkali tau harga dari mulut ke mulut, sehingga yang mau berkencan sudah tau harga,” kata Sari.
Rp 50 ribu juga sudah termasuk sewa kamar. Untuk satu rumah biasanya terisi lima kamar yang disekat. Satu kamar biasanya ada dua penghuni. Jika pelanggan datang bersamaan, salah satu harus rela ngantri, tunggu selesai kencan. Sekarang Sari satu kamar dengan Susi, gadis asli Sambas. Setelah pindah dari kamar Mbak Ning. “ Hanya sekedar mencari suasana baru saja, tapi masih satu rumah, “ kata Sari.
Sari bercerita, untuk berkencan, dia serahkan sepenuhnya pada pelanggan, sampai pelanggan puas. Dan lama waktu kencan, biasanya sekitar 30 menit sampai satu jam. Kebanyakan yang menidurinya tidak menggunakan alat pengaman, alias kondom. “Padahal kondom sudah saya siapkan, namun kebanyakan pelanggan menolaknya, “ kata Sari. Dan rasa takut penyakit tetap ada, namun seakan hilang, jika sudah menerima uang.
Sebenarnya lokalisasi Sebangkau sudah lama berdiri. Lokalisasi ini berdiri sekitar tahun 2000. Dan pada tahun 2003 ditutup karena desakan dari masyarakat, meminta pemerintah daerah, secepatnya tempat lokalisasi ditutup. Kemudian awal 2004. Lokalisasi Sebangkau kembali beroperasi.
***
Selain Desa Sebangkau, masih ada tempat lain yang biasa dijadikan tempat transaksi penjaja seks di Sambas ini. Tempat itu di Pemangkat, letaknya 200 kilometer dari Pontianak. Pemangkat selain terkenal dengan keindahan tempat wisata “Tanjung Batu”, ada tempat menarik yang biasa dikunjungi warga. Dan warga sekitar menyebutnya “ Pantai Sinam.”
Tempat itu cukup asyik untuk bersantai ria. Di sana ada sekitar dua puluh warung menjajakan minuman dan makana, mie dan nasi goreng di sana enak. Ditambah dengan tahu goreng yang dicocol saos pilihan, menjadi lengkap jika menyantap tempat yang telah disedikan. Berupa pendopo, beratap daun, dengan meja melingkar. Lokasi berada di pinggir jalan raya, membelakangi pantai. Sekitar satu kilometer dari pusat kota. Jika memasuki siang hari, duduk sambil menikmati sajian es kelapa muda, membuat tenggorokan menjadi lega.
Namun siapa sangka, di malam harinya, tempat itu berubah. Gemerlap remang lampu menghiasi hampir seluruh warung. Bagi orang baru yag mampir di sini, hal itu dianggap biasa. Namun jika sudah mengetahui seluk beluknya. Menjadi luar biasa. Aku berkunjung kesana beberapa waktu lalu. Mendapat informasi dari salah satu teman yang pernah kesana.
Aku memilih duduk di pojok membelakangi pantai. Segelas minuman energi, Aku pesan dari pelayannya. Selain minuman, Aku tanya pada pelayan di sana, nama panggilannya “ Kak De,” warga Desa Melati. Saya tanya pada Kak De,
“Di sini apa ada tempat ‘mencuci’?”
Ia menatap saya, lalu berkata, “Ada.”
“Mencuci” merupakan kata sandi di sini, artinya menanyakan wanita cantik yang bisa diajak kencan. Saat kita berada di sana, wanita- wanita cantik tidak terlihat. Hanya orang- orang tertentu yang bisa memanggilnya, termasuk pemilik warung. Tak lama, Kak De menghampiriku, membawakan beberapa foto, gadis baru umur gede.
“Ini koleksi Kak De, ia bisa dipanggil ke sini, kapan saja, “ kata Kak De.
“Jika tertarik, tergantung negosiasi, jika tidak, cukup hanya memberikan uang bensin dan ongkos minum, “ katanya.
Saya menyetujuinya. Jari Kak De terlihat sibuk memencet hanpone genggamnya. Sekitar 30 menit, seorang gadis jelita menghampiri kami. Tingginya sekitar 160, menggunakan jeans dan kaos hijau tak berlengan.
Namanya Maya, Ia tinggal di Jalan Pembangunan, Pemangkat. Dari ceritanya, ia masih duduk di bangku SMA favorit di Pemangkat. Saya perkirakan umurnya berkisar 17 tahun. Dengan kulit sawo matang, kencang, lengkap dengan kacamata minusnya. Membuat daya tarik tersendiri. Namun dari penampilan dan dandanannya, sudah tergambar, ia wanita panggilan. Saya mengutarakan maksud saya, dan Maya mulai bercerita.
Awalnya ia terjebak pergaulan bebas. Kegadisannya mulai terenggut sejak ia mengenal kekasihnya, setahun silam. Sejak itu, ia kecewa. Ditambah dengan gaya hidup hedonis teman sekolahnya. Handpone mewah dan uang jajan berkecukupan, iapun tergiur untuk terjun ke dunia malam. Maklum saja, ekonomi keluarga sebagai petani, hanya cukup untuk kebutuhan sehari. Dan satu- satunya tempat aman dari panangan keluarga dan teman sekolanya, adalah Pantia Sinam.
Untuk menerima pelanggan, di sini tidak perlu capek-capek. Cukup berdiam diri di rumah. Sambil menerima telepone datang. Ia pun langsung meluncur. Untuk tarif memang sedikit mahal. Untuk sekali kencan ia patok Rp 100 ribu. Itu belum termasuk biaya penginapan hotel sekitar Rp 50 ribu. Dan untuk memilih hotel yang bebas razia, jangan khawatir. Maya sudah ada pilihan hotel yang tepat untuk berkencan.
***
Masih ada satu tempat lagi, yang menarik perhatianku. Tempat itu cukup indah untuk disinggahi, dengan panorama semilir angin pantai. Jika berkunjung sore hari, di sana terlihat langit jingga, menandakan matahari mulai tenggelam di ufuk senja. Tempat itu dinamakan “ Tanjung Batu” salah satu kebanggaan warga Pemangkat. Di areal Tanjung Batu, ada bukit, tingginya sekitar kaki 300 dari dasar bukit. Jika pernah melihat tembok besar, di China, Tanjung Batu mirip dengannya. Jalan semen, dengan tembok setinggi satu meter di kiri dan kanan sepanjang jalan. Di sekelilingnya dirimbuni pepohonan. Dan jalan itu mengitari perbukitan hingga ke puncak bukit.
Bukit itu, warga sekitar menamainya, “ Bukit Lonte.”
Sejak tempat itu tidak dikelola dengan baik, lima tahun terakhir, banyak mudi- mudi singgah ke sana. Biasanya selalu ramai jika menjelang malam Minggu. Di areal itu banyak pasangan mengadu kasih, meskipun suasan itu gelap. Sehingga tak heran, jika siang harinya banyak berserakan alat kontrasepsi, maupun pembalut wanita di sana.
Dari cerita diatas, tergambar sudah, dimana pergaulan bebas sudah menjamur sedemikian rupa. Di mana ada wisata malam, di situ ada pergaulan bebas hingga seks bebas. Melihat fenomena ini, agaknya terlalu sulit bagi pemerintah daerah untuk menanggulangi. Ini bisa dilihat, hingga kini pemerintah daerah belum bisa berbuat. Akibatnya, jumlah penderita Acquired Immune Deficiency Syndrome atau dikenal dengan (AIDS) di kabutaten Sambas semakin bertambah.
Sejak delapan tahun terakhir, kematian akibat HIV/AIDS di Kabupaten Sambas mencapai 47 kasus. Angka ini kemungkinan bertambah karena berdasarkan data Dinas Kesehatan Sambas, sejak tahun 2000 hingga bulan Oktober 2008 terdapat 111 orang tertular HIV/AIDS.
Bila melihat data tersebut, 48 penderita HIV/AIDS masuk dalam tahapan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Tak dapat dipungkiri, Kecamatan Pemangkat menempati posisi teratas jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 17 orang. Disusul kemudian, Kecamatan Jawai sebanyak enam orang, dan posisi ketiga ditempati Kecamatan Tebas sebanyak empat orang. Kecamatan Salatiga terdapat tiga orang, Kecamatan Sambas, Kecamatan Selakau dan Kecamatan Teluk Keramat masing-masing sebanyak satu orang menderita HIV/AIDS.
Melihat peningkatan jumlah penderita HIV AIDS, beberapa waktu lalu, Bupati Sambas, Burhanuddin A Rasyid pernah mengatakan akan menertiban tempat lokalisasi Desa Sebangkau. Mengingat tepat itu tidak sesuai dengan adat dan budaya kota kabupaten Sambas, sebagai kota Serambi Mekah. Bukan hanya itu, penyebaran penularan virus HIV juga bersumber dari sana. Namun kenyataannya hingga kini belum ada realisasinya.
Sementara Ketua Komisi D, DPRD Kabupaten Sambas, Rusli M Yusuf berkata bertambahnya jumlah penderita HIV AIDS akibat dari pergaulan bebas. Saat ini, tanpa disadari, keberadaan tempat prostitusi yang terselubung sudah menjamur di berbagai daerah. Seperti tempat lokalisasi, kost, rumah kontrakan, yang semua itu luput dari perhatian.
“Sejauh ini, memang belum terihat upaya pemerintah daerah untuk menertibkan tepat tersebut, padahal pemda sudah punya Peraturan Daerah Tahun 2004, tentang pelarangan tempat hiburan, ” kata Rusli.
“Lagi- lagi Perda tadi hanya dijadikan tumpukan kertas, sampai kini implementasi belum terlihat,” tambahnya.
Dan jika ini dibiarkan, daerah Sambas akan menjadi basis terbesar penyebaran HIV AIDS, apalagi, dalam waktu dekat Border perbatasan di Kecamatan Aruk, Sajingan akan dibuka.
Sebab, pembukaan ini akan berdampak semakin banyaknya warga pendatang, misalnya warga asing dengan tujuan kunjungan wisata, lalu menginap di hotel, kemudian berhubungan intim dengan bukan pasangan resminya. “Sementara kita sendiri tidak tahu bahwa ia sudah terkena virus HIV. Proses situ bisa saja terjadi,” ujar Rusli.
Karena itu dia minta agar pemerintah segera bertindak.
“ Harus ada sikap tegas pemerintah daerah dalam memerangi HIV AIDS,” kata Rusli.
Sebenarnya, banyak usaha yang dilakukan pemerintah Kabupaten Sambas untuk mencegah penularan HIV/ AIDS, salah satunya dengan membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Sambas, tahun 2007. Untuk anggaran juga sudah ada, baik dari APBD maupun UNEFA, per tahunnya bisa mencapai Rp 100 juta.
Namun, jika melihat data delapan tahun terakhir, jumlah penderita HIVAIDS terjadi peningkatan.
Meskipun KPA sudah terbentuk, ada permasalahan yang mesti diselesaikan.
Program Officer KPA Kabupaten Sambas , Eka, mengatakan, permasalahan menanggulangi tingkat penyebaran HIV adalah masih terkendala dengan faktor lingkungan. Dimana masyarakat Kabupaten Sambas belum sepenuhnya menerima keberadaan alat kontrasepsi, jenis kondom. Padahal kondom sendiri salah satu media efektif untuk menghindari kehamilan tidak direncanakan dan mengatasi penyebaran infeksi menular seksual, termasuk HIV.
“Saat kita hendak melakukan sosialisasi, banyak pro dan kontra di masyarakat, sehingga sosialisasi itu belum sepenuhnya berjalan,” ungkapnya.
Permasalahan lain adalah, melakukan sosialisasi pada masyarakat, tentang bahaya penularan HIV AIDS belum sepenuhnya menjangkau secara luas. Dalam dua tahun terakhir KPA sudah menjalankan jadwal terpadu, dimana KPA Kabupaten Sambas sudah berkoordinasi dengan LSM peduli AIDS maupun dengan lembaga-lembaga yang terjun menangani masalah penyakit tersebut. “Dan itu sudah berjalan dengan baik, “kata Eka.
Untuk menyikapinya, KPA bekerjasama dengan VCT Puskesmas Pemangkat mengunakan sistem jemput bola, untuk melakukan sample darah setahun sekali, langsung ke titik penyebaran HIV, seperti lokaliasi dan tempat hiburan malam lainnya. Dengan begitu, bisa tahu, siapa yang terinfeksi HIV.
“Tentu identitasnya kita rahasiakan, “ kata Eka.
Lokaliasi merupakan salah satu penyebaran HIV/AIDS. Dan ketika lingkungan sudah terjangkit HIV/AIDS, akan semakin banyak generasi muda yang terinfeksi HIV, semakin banyak pula anak yang terlahir dengan HIV. Tentu akan menjadi ancaman terbesar terhadap pembangunan sosial ekonomi, stabilitas dan keamanan pada daerah yang sedang berkembang. Sudah saatnya pemerintah daerah mengambil sikap tegas. Menertibkan segala bentuk maksiat, termasuk lokalisasi. Menjaga kota Sambas, kota serambi mekah.

0 komentar:

Posting Komentar