Selasa, 10 Mei 2011

Keranda di Tanah Sempadan




Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Pontianak

Temajuk desa yang indah. Diapit dua pegunungan dengan hutan dan lautnya yang eksotik. Di situ pula ada tanda Sempadan, pemisah dua negara: Indonesia dan Malaysia. Tapi keindahan alamnya tidak seindah kehidupan warga di sana. Bayangkan saja, tak ada akses jalan dan jembatan yang menghubungkan desa ini dengan daerah luar. Yang paling menyedihkan adalah saat ada warga yang sakit atau melahirkan. Meninggal di jalan ketika hendak dibawa ke rumah sakit adalah hal yang kerap ditemui di desa itu.  

Hari mulai gelap. Angin laut berhembus kencang bersamaan dengan ombak menggulung menuju dasar pantai, Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Sambas, Kalimantan Barat. Di dermaga, Sumardi baru saja pulang melaut. Dengan napas tersengal, Yono mengabarkan istrinya, Masrah segera melahirkan.

Di rumah Sumardi sudah ada Juraini, bidan desa yang bertugas di sana sejak 1990. Juraini kesulitan menangani persalinan Masrah. “Posisi janin melintang,” kata Juraini sambil menyeka peluh. Bidan desa ini tidak punya cukup peralatan. Juraini meminta Sumardi membawa Masrah ke puskesmas di Desa Liku, satu-satunya puskesmas di Kecamatan Paloh, malam itu juga.

Sumardi panik. Di luar cuaca sedang buruk. Angin kencang disertai ombak besar. Padahal warga kampung mesti segera membawa Masrah ke puskesmas yang jaraknya 90 kilometer atau sekitar 3 jam perjalanan melewati bibir pantai. Tak ada jalan, apalagi ambulans. Satu-satunya kendaraan yang bisa digunakan adalah sepeda motor. Tapi medannya akan sangat berat. “Jika menggunakan motor, bisa-bisa istri saya melahirkan di jalan,” ujar Sumardi.   

Tidak mau mengambil resiko. Sumardi memutuskan memilih jalur laut, meskipun jarak tempuhnya 3 jam lebih lama ketimbang lewat darat. “Tapi ini lebih aman,” tambah lelaki 38 tahun ini. Warga kampung pun bergegas menyiapkan perahu motor mesin 40 PK milik salah seorang warga. Karena darurat dan harus cepat, warga kemudian menambah lagi kecepatan mesin milik perahu menjadi 200 PK. Sehingga waktu tempuh bisa dipersingkat hingga 2 jam.  

Masrah dibopong sepanjang satu kilometer menggunakan tandu hingga sampai ke perahu. Di tengah ombak yang menggoyang-goyangkan perahu, Masrah terus merintih kesakitan. Bidan Juraini tampak gelisah. Masrah terus mengalami pendarahan. Namun ia hanya bisa menenangkan Masrah dan memberikan pertolongan sebisanya.

Sesampai di puskesmas Liku, pihak medis menyatakan tidak mampu menangani persalinan Masrah. Puskesmas itu tidak memiliki perlengkapan yang mencukupi. Mereka lantas merujuk Masrah ke rumah sakit Sambas. Kondisi istrinya sudah makin lemas. Padahal butuh waktu 4 jam lagi untuk sampai di rumah sakit. Sumardi tak membuang waktu, bergegas mencari mobil. Beruntung seorang warga yang tinggal tak jauh dari puskesmas mau menyewakan mobilnya.  

Mobil terus melaju di jalan yang rusak, seperti berlomba dengan waktu. Bila tak segera sampai ke rumah sakit dikuatirkan Masrah sulit tertolong. “Tapi bersyukur, meski sudah sangat lemah, istri saya masih mampu bertahan,” ujar Sumardi.

Malam harinya suara bayi terdengar dari ruang persalinan Rumah Sakit Sambas. Masrah melahirkan anak pertamanya dengan selamat. Tapi masalah belum berakhir di situ. Sumardi kesulitan membayar biaya persalinan. Uang tabungannya sebesar 3 juta rupiah sudah ludes untuk membayar perahu dan ganti biaya solar 100 liter, serta menyewa mobil. Beruntung sejumlah warga memberikan sumbangan sukarela.

Selain Sumardi, kondisi tidak jauh berbeda pernah juga terjadi pada Yono, warga lain. Bedanya, Yono masih bisa mengungsikan istrinya, Sari ke tempat keluarga di Desa Liku. Bidan Juraini, berdasarkan hitungannya, memperkirakan kelahiran Sari masih sebulan lagi. Agar tidak beresiko, Juraini menyarankan pada Yono agar segera membawa istrinya ke Desa Liku. “Kalau terlalu dekat, terlalu beresiko. Bisa-bisa seperti bu Masrah,” kata Juraini pada Yono.  

Yono membonceng istrinya melewati bibir pantai. Mengendarai motor di pasir lebih sulit daripada di jalan biasa. Saya harus hati-hati membawa istri saya,” cerita Yono. Di perjalanan sepeda motornya mogok, padahal masih tersisa 1 jam perjalanan. Yono tambah panik karena istrinya mengalami pendarahan. “Mungkin karena terkena goncangan saat dibonceng motor,” ujar Yono.
Beruntung pada saat itu ada dua pengendara motor melintas. Dari pertolongan mereka istri Yono bisa dibawa sampai ke puskesmas. Seminggu setelah itu, Sari melahirkan. Kelahiran ini 3 minggu lebih cepat dari waktu kelahiran normal. “Itulah kondisi di sini. Tak tersedianya jalan bisa bikin orang melahirkan lebih cepat,” ujar Yono, setengah bercanda.

Tak heran bila Yono merasa bersyukur. Meninggal dalam kondisi akan melahirkan bukanlah hal yang sulit ditemui di Desa Temajuk. Data Dinas Kesehatan Sambas, tahun 2010 saja sudah ada 32 ibu melahirkan dari Desa Temajuk yang dirujuk ke puskesmas dan rumah sakit. “2 orang diantara mereka meninggal dunia dalam perjalanan,” ujar Kasi Pelayanan Kesehatan Sambas, Rahma.

Berhubung akses jalan dari Desa Temajuk ke Kecamatan terisolasi, Rahma menyarankan minimal sebulan sebelum melahirkan sang ibu sudah berada di pusat kota. “Sehingga memasuki masa melahirkan bisa cepat ditangani,” ujar Rahma, menyarankan. Desa Temajuk hanya memiliki 2 orang petugas kesehatan: 1 orang mantri dan 1 bidan. Persediaan obat-obatan juga terbatas. Sementara tenaga dokter hanya bertugas di Kecamatan Paloh.

Problem yang dihadapi warga Desa Temajuk bukan hanya saat melahirkan saja. Mahyadi, mantan Kepala Badan Perwakilan Desa Temajuk pernah kehilangan nyawa anaknya, Yudi, 3 tahun lalu.  Saat itu anaknya yang baru berusia 8 tahun menderita demam tinggi. Dia membawa anak ke mantri kesehatan, namun si mantri angkat tangan. Dibantu oleh Kusmito, tetangganya, Mahyadi memutuskan membawa anaknya ke rumah sakit di Sambas dengan menggunakan sepeda motor. Yadi didudukkan di tengah, diapit oleh Mahyadi dan Kusmito.

Di tengah perjalanan, air laut mulai pasang. Ombak setinggi dua meter menggulung hingga ke dasar pantai. Praktis sepeda motor Mahyadi hanya bisa berlari dengan kecepatan 20 kilometer per jam karena jalan pasir mulai terendam air pasang. Ban motor kerap terbenam dalam pasir. Lamanya perjalanan membuat nyawa anak Mahyadi tidak bisa tertolong. Yudi menghembuskan nafas terakhir di atas sepeda motor.

Desa Temajuk merupakan daerah perbatasan paling barat di Kalimantan Barat. Dari ibu kota provinsi Pontianak butuh waktu 14 jam perjalanan darat untuk sampai ke desa ini. Temajuk berbatasan langsung dengan Telok Melano, Serawak, Malaysia.

Pada 1970an wilayah ini pernah menjadi tempat persembunyian Pasukan Gerakan Rakyat Serawak/ Persatuan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku) yang berusaha ditumpas militer Indonesia. PGRS/ Paraku adalah para pemberontak yang terkait konfrontasi dengan Malaysia.  “Sejak operasi Malaysia-Indonesia (Malindo) tahun 1987, anggota PGRS sudah tidak kelihatan lagi,” kata Marjuni, tokoh masyarakat Temajuk.

Pemerintah pusat kemudian menempatkan transmigran lokal di desa ini. Kebanyakan berasal dari Kecamatan Sungai Duri, Selakau, Pemangkat dan Tebas. Sejak itulah, Temajuk mulai dihuni. Setiap warga disediakan satu unit rumah sederhana dan lahan seluas 5 hektare lengkap dengan bibit tanaman, seperti buah rambutan, karet dan lada.

Tapi, penempatan warga di Desa Temajuk ini tanpa diiringi pembangunan infrastruktur jalan dan layanan kesehatan. Bahkan hingga puluhan tahun berikutnya, jalan yang diidam-idamkan belum juga terwujud. Keterisolasian desa membuat hidup terasa sangat sulit bagi 550 kepala keluarga atau 1.814 jiwa warga yang tinggal di desa itu. Derita warga semakin bertambah memasuki musim lamdas atau ombak besar yang terjadi pada Agustus-Nopember. Kapal nelayan tak bisa berlayar. Praktis tak ada penghasilan yang bisa diperoleh. Dan pada musim itulah, setiap tahun, warga mengalami krisis pangan.

Kapal pembawa sembako dari pusat kota ke Temajuk praktis tidak bisa beroperasi. Sementara jalur darat sama sekali tidak bisa dilewati karena air pasang laut. Pemkab Sambas harus menyalurkan bantuan sembako berupa 5 ton beras, mie instan dan ikan kalengan kepada warga Temajuk menggunakan kapal berukuran besar.

Selain krisis pangan, yang paling ditakutkan saat lamdas adalah bila ada warga yang sakit atau melahirkan. “Kami jelas tak bisa membawanya ke rumah sakit. Hanya bisa dirawat seadanya di desa,” ujar Marjuni. “Mau berobat susah, mau jual hasil laut juga susah. Ekonomi jadi tambah sulit. Warga yang miskin akan terus miskin.

Sebenarnya penghasilan warga cukup besar. Sekitar 70 persen warga Temajuk adalah petani lada. Sisanya adalah nelayan dan berdagang. Rata- rata pendapatan ekonomi warga disana tinggi, sekitar Rp 1-7 juta perbulan, terutama saat harga lada naik. Namun, tingginya harga lada akan sia-sia saja kalau hasil panen tak bisa dibawa keluar.

Warga Temajuk bisa masuk kampung Telok Melano, Malaysia tanpa melalui pos pemeriksaan lintas batas. Meski hanya berjarak beberapa kilometer, Desa Temajuk dan Telok Melano sangat bertentangan. “Kalau kita masuk ke seberang (Malaysia-red), kita akan lihat jalan mereka halus dan lebar-lebar. Di sini (Temajuk) jalan setapak pun tidak ada,” kata Marjuni membandingkan.

Marjuni bercerita, sebulan sekali pihak kerajaan rutin mengirimkan tenaga dokter dan perawat ke warganya menggunakan helikopter. Mulai dari pemeriksaan tes darah hingga pada pemberian obat secara gratis untuk sebulan. Seperti pemberian vitamin, obat demam, flu dan lainnya. Pelayanan seperti itu tidak didapat oleh warga Temajuk. Ketika sedang jatuh sakit, warga panik karena tidak ada pelayanan kesehatan yang baik di desanya.

Kepala Desa Temajuk Mulyadi pernah mengerahkan puluhan warga mengawal perjalanan ibu melahirkan sampai ke puskesmas Kecamatan Paloh dengan cara ditandu melalui bibir pantai. Ketika itu ombak sedang besar. “Bayangkan, 30 kilo (meter) kami berjalan. Kasihan orang yang sakit bisa tambah sakit.”

Pemkab Sambas pernah memberikan bantuan speed boat. Namun kendaraan air itu tidak bisa difungsikan warga. Saking kesalnya Mulyadi pernah minta Pemkab Sambas untuk menarik kembali bantuan speed boad itu. “Speed boat itu terlalu kecil untuk membawa pasien. Jadi tidak pernah dipakai,” jelas Marjuni.

Pejabat Pemkab Sambas sudah berulang kali berkunjung ke sana. Mantan Bupati Sambas, Burhanuddin A Rasyid saat masih menjabat berjanji menghapuskan status daerah terisolir bagi desa Temajuk.  Tapi hingga masa jabatannya usai belum terealisasi. Kepala Dinas Bina Marga Sambas, Ferry Madagaskar sudah memasukkan usulan bantuan dana pemerintah pusat untuk membangun jalan perbatasan Kecamatan Paloh, Desa Temajuk-Cermai sepanjang 34 kilometer, dengan lebar 6 meter. Tapi ia belum bisa pastikan kapan realisasinya.

Ketua Lembaga Pengkajian Pembangunan dan Pemberdayaan Daerah Perbatasan, Dedi S Helmi menuding pemerintah tak serius mengurus perbatasan. Pembangunan jalan paralel Sebubus-Aruk sepanjang 48 kilometer, dan Cermai –Sui Sumpit- Temajuk sepanjang 38 kilometer hingga kini belum bisa terealisasi. “Sehingga wajar jika warga perbatasan bertanya, siapa yang bertanggung jawab membangun wilayah perbatasan dan pembinaan masyarakatnya,” kata Dedi.

Kepala Dinas Kesehatan Sambas, dr Nyoman Nukarca mengatakan semua persoalan bermuara pada minimnya anggaran untuk peningkatan pelayananan kesehatan. Seperti bantuan dua unit speed boad mesin 40 PK sampai sekarang tidak berfungsi karena tidak memiliki dana operasional jika dijalankan setiap harinya. Belum biaya distribusi obat- obatan ke daerah terisolir dan pedalaman. “ Jika alokasi dana cukup, pelayanan kesehatan akan baik,” kata Nyoman.

Anggota DPR RI Komisi IX Dapil Kalbar, Karolin Margret Natasa menuding Departemen Kesehatan tidak jelas mengeluarkan program pelayanan kesehatan kepada warganya di daerah terpencil dan terisolir. Seperti penempatan tenaga dokter PTT di daerah pedalaman. Satu sisi langkah itu baik, tapi penempatan tenaga dokter menggunakan sistem kontrak dalam setahun. “Lepas itu mereka kembali lagi ke tempat tugas asal,” kata Karolin.  Begitu juga penempatan fisik puskesmas di berbagai daerah keberadaannya sulit diakses oleh warga yang tinggal di pedalaman. Padahal bisa saja Depkes membuat program dokter terbang atau menempatkan dokter terapung yang bisa menjangkau puskesmas di daerah pedalaman.”

Begitu juga dengan program Jaminan Persalinan (Jampersal) atau biaya persalinan gratis. Kementerian Kesehatan tidak melakukan dengan perencanaan yang baik. Pembahasan program itu telah dilaksanakan sejak tahun lalu, tetapi petunjuk teknis baru keluar pada April 2011.

”Bagaimana dengan sosialisasinya? Semuanya mendadak. Pada awal pembahasan anggaran tidak ada. Mendekati ketok palu baru ada program Jampersal. Dana yang diperoleh Rp 1,2 triliun. Padahal seharusnya bisa lebih dari itu,” ujar Karolin dengan nada keras.

Warga Temajuk masih menagih janji perbaikan infrastruktur dan pelayan kesehatan. Selama harapan itu belum terpenuhi negara sudah melakukan pembiaran kepada warganya. Komisioner Komnas HAM Indonesia, Yosep Adi Prastyo ketika ditemui di Jakarta menyebutkan, hilangnya nyawa warga karena daerahnya terisolir adalah dosa negara dan masuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Kembali ke Desa Temajuk, warga bernama Sumardi hanya berharap akses jalan segera dibangun. Supaya hidup tidak terus menderita. **

Terbit Borneo Tribune Selasa 10 Mei 2011

0 komentar:

Posting Komentar