This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 10 Mei 2011

Menebar Kartu Akses di Pulau Borneo

Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Pontianak

Nasabah dan broker seperti dua sisi mata uang. Keduanya punya ikatan. Menjalin kerjasama dan menjalankan perannya di pasar modal. Tapi investasi yang dibangun dengan modal kepercayaan belum menjamin keamanan berinvestasi. Hadirnya Kartu Acuan Kepemilikan Sekuritas (AKses) akan mewujudkan pasar modal Indonesia yang transparan dan terpercaya.

“ Bermain saham itu gampang- gampang susah. Jika salah strategi kita yang menanggung rugi, “ kata Sri Susilawati. Siang itu. Pekan lalu, di Pontianak.

Sri adalah aktivis perempuan juga pengusaha sukses asal Kalbar. Sebutan aktivis diambil dari sederet nama organisasi digelutinya sampai sekarang. Yakni, Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia, Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Dan Putra Putri Tni Polri, Komite Nasional Pemuda Indonesia, sampai pengurus partai politik - Golkar Kalbar.

Sukses di bidang organisasi, Sri juga sukses berinvestasi di pasar modal dengan bermain saham sejak 2003.

Dimulai dengan perkenalan salah satu broker di Kota Pontianak yang menawarkan peluang investasi masa depan di pasar modal. Maklum, investasi lain seperti perumahan, niaga dan deposito sudah dimilikinya. Tapi investasi di pasar modal baru pertama ia dengar ketika itu. Merasa tertarik, Sri pun bergabung menjadi nasabah.

Sebagai pemain pemula, ia memulai investasi dengan modal kecil, sebesar Rp 10 juta dari saran dan masukan brokernya. Juga mengetahui ke mana arah pertumbuhan ekonomi, artinya apakah sedang boom, atau depressi atau diantaranya.

“Kalau ekonomi sedang dalam pertumbuhan meningkat, maka itulah saat yang paling tepat berinvestasi,” kata Sri, menirukan saran brokernya.
Begitu juga dalam memilih industri dan track recordnya. Harus familiar dan lebih disenangi. Karena dengan memilih industri memiliki track record yang baik dapat memberikan keuntungan selama bertransaksi. Dari strategi tadi, Sri bisa meraup untung yang berlipat ganda dari deviden di sektor perbankan dan pertambangan.
Meski begitu, bergelut di dunia saham seperti melawan waktu. Bukan nasabah yang mengatur waktu, tapi waktu yang mengatur transaksi. Sementara Sri sendiri tidak memiliki waktu untuk itu. Seperti memonitor langsung arus transaksi perdagangan saham, karena ada aktivitas lain di luar itu. Seperti mengurus pekerjaan di kantor dan keluarga di rumah.

Jadi, setiap kali bertransaksi di pasar modal, saya serahkan sepenuhnya kepada broker.”

Selain Sri, kondisi tidak jauh berbeda juga dialami Tan Beng Tek. Ia pengusaha asal Kota Pontianak dan pemain lama di pasar modal, sejak 1993. Dimulai dengan investasi awal sekitar Rp 11 juta. Nilai mata uang yang cukup besar ketika itu. Sehingga ia bisa bermain saham menggunakan cara spekulan dan membelinya dengan jumlah banyak.

Sekedar mengetahui perkembangan transaksi, ia harus duduk seharian di kantor brokernya, di Pontianak. Mulai pukul 08.00 sampai tutup market. Alhasil, sekarang dana yang dikumpulkan di rekeningnya jumlahnya berlipat ganda dari investasi awal pergerakan dana di pasar efek. Tidak disebutkan besaran jumlahnya. Baginya, investasi di pasar modal sebagai alternatif investasi, selain menyimpan dana dalam bentuk deposito, dana pensiun dan lainnya.

Sayang, nasabah sukses seperti Sri dan Tan Bun Tek masih membangun sistem kepercayaan dengan brokernya. Padahal cara itu belumlah cukup bagi nasabah yang memiliki nilai investasi yang besar jika tidak ingin menderita kerugian yang besar pula. Karena setiap investasi yang dijalani tidak sepenuhnya aman.

Kasus Melinda salah satunya ? Manajer Citybank yang berhasil menilap uang nasabahnya hingga puluhan miliar rupiah. Kasus serupa juga pernah mendera industri pasar modal. Contohnya kasus PT Sarijaya, perusahaan sekuritas atau broker diduga melakukan penggelapan rekening efek nasabahnya.

Berangkat dari kasus itu, PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) satu Self Regulatory Organization (SRO) di pasar modal Indonesia mencoba membangun sistem keamanan dan transparansi kepada nasabah pasar modal, sehingga penggelapan dana nasabah tidak terjadi lagi.

Melalui produk Kartu Acuan Kepemilikan Sekuritas (AKses), bakal memberikan sarana informasi kepada investor dengan gratis dan secara online. Kelebihan Kartu Akses, bisa mengakses dan memonitor data posisi efek serta catatan kepemilikan dana yang disimpan investor dalam sub rekening efek.

Apalagi di Kalimantan Barat, dunia pasar modal cukup bergairah. Setiap tahun menunjukkan trend peningkatan jumlah nasabah. Begitu juga dengan perputaran dana di pasar efek. Pusat Informasi Pasar Modal (PIPM) di Pontianak mencatat, jumlah transaksi per hari mencapai Rp 1triliun lebih dari 3.000 investor.

Nah, bagaimana menjamin dana nasabah agar aman dan bisa transparan? Kehadiran Kartu AKSes, nasabah dapat melihat langsung investasi dan kekayaan berupa efek termasuk saham, obligasi dan lainnya yang tersimpan dan bagaimana nilai investasinya tersebut berkembang, tidak ubahnya seperti investasi yang lain.
Peluncuran Kartu AKses perdana telah dimulai 23 Desember 2009.  Di Kalbar baru diperkenalkan Maret 2011.

Meski terbilang baru, pertumbuhan jumlah nasabah Kalimantan Barat tertinggi di regional Kalimantan. Begitu juga dengan sub account dan login Akses.  Data KSEI menyebutkan, Kalimantan Barat memiliki  3.206 Sub Account, 1.066 Kartu AKSes dan 374  Login AKSes.

Bandingkan dengan Kalimantan Timur memiliki  3.295 Sub Account, 639 Kartu AKSes dan 148 Login AKSes. Kalimantan Selatan memiliki 1.285 Sub Account, 194 Kartu AKSes dan 35 Login AKSes. Kalimantan Tengah memiliki  231 Sub Account,  34  Kartu AKSes dan 8 Login AKSes.

“ Sayang,  pertumbuhan pengguna dan login AKses belum mencapai target sejak awal program ditetapkan,” kata Syafruddin.

Ia adalah Kepala divisi Pengembangan Layanan Jasa PT KESEI, berkantor di Jakarta. Ketika hadir di Hotel Mercure, Pontianak Maret lalu pernah menyebutkan pertumbuhan penguna Kartu AKses belum menggembirakan.

Angka kepemiikan kartu AKSes hingga Juni 2010 baru 395 pemilik kartu. Setelah 6 bulan program sosialisasi berjalan, akhir Desember 2010 telah tercapai jumlah 768 atau naik 94 persen, dan pada Q1 2011 bertambah lagi 298 menjadi total 1.066.

Angka itu belum mencapai target yang ditetapkan di awal program. Ditargetkan  selama setahun program berjalan kepemilikan Kartu AKSes mencapai 50 persen dari jumlah sub rekening efek saat ini baru sekitar 33 persen.

“ Semua itu karena keterbatasan informasi mengenai pasar modal,” katanya.

Pihak KSEI mencoba menjalankan program sosialisasi Kartu AKSes kepada masyarakat yang sudah berinvestasi di pasar modal di berbagai daerah.  Termasuk memperkenalkan Kartu AKses di Kalbar.

Karena Kalbar daearahnya yang luas, 1,5 kali luas pulau Jawa. Juga dikenal sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alamnya membuka banyak peluang pengusaha berinvestasi di pulau Borneo itu. Seperti sektor pertambangan, perkebunan, pertanian sampai ke perbankan.

Begitu juga dengan perputaran uang masyarakatnya. Sepanjang 2011 perputaran uang tunai yang masuk dan keluar dari Kantor Bank Indonesia Pontianak menunjukkan peningkatan 43,98 persen.

Rata-rata bulanan, aliran uang kartal yang masuk atau inflow naik dari Rp40 miliar menjadi Rp147 miliar atau melonjak sebesar 263,99 persen. Sedangkan rata-rata bulanan jumlah aliran uang tunai yang keluar atau outflow mengalami perlambatan 17,89 persen yaitu dari Rp340 miliar menajdi Rp401 miliar.

Meski begitu, Kalbar masih dihadapkan dengan masalah kondisi infrastruktur yang buruk. Begitu juga dengan penyebaran penduduk sampai ke pedalaman dan perbatasan yang sulit dijangkau dengan transportasi.

Kondisi itu menjadi tantangan tersendiri bagi KSEI. Bagaimana menangkap peluang dan memasarkan peluang investasi di pasar modal kepada masyarakat Kalbar dengan menggandeng PIPM di Pontianak.

Kepala Pusat Informasi Pasar Modal (PIPM) Pontianak, Isma Swadjaja menyebutkan, dari 14 kabupaten kota di Kalbar penyebaran baru dua kota dengan jumlah nasabah terbanyak, yakni Kota Pontianak dan Singkawang.

Yang menjadi kendala, mewujudkan kepemilikan Kartu AKses agar bisa mencapai target masih terbentur menggunakan sistem berbasis internet. Sementara di Kalbar tidak semua nasabah paham dengan komputer.

Data PIPM Pontianak menyebutkan, hampir 60 persen nasabah sudah memasuki usia senja atau berkisar 40 tahun ke atas. Diusia itu, nasabah kurang begitu paham bagaimana cara mengoperasikan komputer yang berbasis internet. Sehinga nasabah beralih kepada broker membantu melakukan transaksi. Yang terjadi, begitu nasabah disodorkan kepemilikan Kartu AKses, nasabah kesulitan melakukan login karena kurang paham dan merasa kerepotan mengaksesnya.

Berbeda dengan kelompok usia muda atau di bawah 40 tahun. Mereka sudah paham cara mengoperasikan komputer dan sudah menjadi dunia mereka. Dengan pengetahuan itu nasabah di usia muda bisa memantau transaksi saham melalui internet. 

Agar masyarakat bisa paham dan sepengetahuan, PIPM Pontianak telah menggelar pelatihan pengenalan dasar pasar modal kepada masyarakat Kalbar secara gratis alias tanpa dipungut biaya. Mulai dari mahasiswa, pegawai negeri, pengusaha, ibu rumah tangga sampai kepada wartawan.

Program itu baru berjalan tiga bulan dengan jumlah pesertanya mencapai ratusan orang. Dengan mengenalkan apa itu pasar modal. Bagaimana cara berinvestasi atau berbisnis di pasar modal, apa saja produknya. Apa resikonya. Bagaimana melakukan analisa, dan lainnya bukan hal yang mudah untuk disampaikan dan tidak cukup disampaikan sekilas sekali dua kali.

Ia beranggapan, masyarakat yang belum berinvestasi karena masih ragu dengan bentuk investasi yang relatif tidak riil. Berbeda dengan bentuk investasi konvensional seperti emas, properti, tanah dan lainnya yang secara nyata dapat dilihat bentuknya.

Dari segi bisnis, peluang di pasar modal cukup besar dibandingkan dengan peluang bisnis di sektor riil. Meski pada prinsipnya bisnis lebih dinamis dan lebih ber-resiko. Bila sektor riil lebih menarik, ada resiko tapi secara alami lebih mudah dipahami dan dijalankan, pasar modal mungkin belum akan dilirik karena relatif  sehingga perlu pemahaman khusus.

Nah, materi itu juga ditujukan dengan sejumlah perusahaan di daerah Kalbar. Seperti perkebunan saiwt, pertambangn dan perbankan di pasar modal. Karena dareah lain, pasar modal sudah merambah sejumah perusahaan daerah pemerintah dan swasta.

Contohnya Bank Jawa Timur. Setelah memastikan kinerjanya membaik dan terus meningkat, Bank daerah itu telah siap memperdagangkan 25 persen saham ke lantai bursa.

Di Kalbar juga ada bank daerah, namanya Bank Kalbar. Kinerjanya tidak kalah dengan Bank Jatim. “ Harapan kita ke depan, Bank Kalbar sama seperti Bank Jatim. Sama- sama masuk dalam bursa saham,” kata Swadjaja.

Bagaimana dengan nasabah di usia lanjut?

“ Sejauh ini nasabah dan broker di Kalbar masih terjalin dengan baik dan aman,” kata Hari Halidi. Ia Kepala Cabang Reliance Securitas Pontianak atau broker.
Di Kalbar sudah ada 16 lembaga sekuritas membina dan mendampingi nasabah berinvestasi di pasar modal. Menurut Heri, semakin banyaknya perusahaan sekuritas di Pontianak menunjukkan akan semakin tersebarluasnya informasi terkait pasar modal dan ikut serta mensosialisasikan kepada nasabah manfaat Kartu AKses.
Selain nasabah, PT Reliance telah melakukan bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Tanjunpura Pontianak dua bulan lalu dengan memasukkan kurikulum mata kuliah bursa saham kepada mahasiswanya. Tujuannya agar menarik lebih banyak lagi peminat bursa saham dari kalangan muda.

“ Dari situ akan lahir sumber daya manusia yang konsen dan mampu memberikan gairah baru dunia pasar modal,” Halidi.

Artinya, ada pendatang baru pemain bursa saham yang bakal meramaikan perdagangan saham khusus wilayah Kalbar. Karena mereka dibekali pemahaman baru tentang bagaimana cara bertransaksi dengan aman dan transparan.

“ Caranya dengan memperkenalkan kartu akses kepada mereka,” kata Halidi.
Karena di sejumlah daerah di pulau Jawa gairah pasar modal saham sudah melirik peluang mahasiswa. Bahkan, jumlah transaksi perdagangan saham terbilang besar, mencapai Rp 2 miliar lebih.

Halidi berpendapat, nasabah yang memilik Kartu AKses adalah nasabah yang memiliki  identitas dirinya melakukan kegiatan pasar modal. Identitas tersebut berupa nomor id yang nantinya berkaitan dengan kata kunci yang digunakan untuk mengakses data efeknya.

Nilai tambah lain, lembaga sekuritasnya sudah menjalankan regulasi dari Bapepam-LK yang mewajibkan perusahaan sekuritas untuk melakukan pemisahan rekening dana nasabah untuk merubah kondisi saat ini yang masih menggabungkan seluruh dana nasabah dalam satu rekening perusahaan sekuritas.

Keadaan ini memicu percampuran dana nasabah sehingga nasabah dalam hal ini investor tidak bisa melihat kondisi keuangan mereka dalam rekening perusahaan sekuritas. Dengan adanya regulasi tersebut, transparansi bisa dihadirkan dalam pasar modal sehingga rasa aman bisa didapat oleh investor dan lembaga sekuritas yang ada.

Bila hal ini dapat tercapai, tentunya aktifitas di pasar modal dapat lebih bergairah menanamkan investasinya dan investor tidak perlu ragu lagi dan harus percaya dengan kepemilikan Kartu Akses, akan membuka ruang dan peluang investasi di tanah Borneo.









































Keranda di Tanah Sempadan




Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Pontianak

Temajuk desa yang indah. Diapit dua pegunungan dengan hutan dan lautnya yang eksotik. Di situ pula ada tanda Sempadan, pemisah dua negara: Indonesia dan Malaysia. Tapi keindahan alamnya tidak seindah kehidupan warga di sana. Bayangkan saja, tak ada akses jalan dan jembatan yang menghubungkan desa ini dengan daerah luar. Yang paling menyedihkan adalah saat ada warga yang sakit atau melahirkan. Meninggal di jalan ketika hendak dibawa ke rumah sakit adalah hal yang kerap ditemui di desa itu.  

Hari mulai gelap. Angin laut berhembus kencang bersamaan dengan ombak menggulung menuju dasar pantai, Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Sambas, Kalimantan Barat. Di dermaga, Sumardi baru saja pulang melaut. Dengan napas tersengal, Yono mengabarkan istrinya, Masrah segera melahirkan.

Di rumah Sumardi sudah ada Juraini, bidan desa yang bertugas di sana sejak 1990. Juraini kesulitan menangani persalinan Masrah. “Posisi janin melintang,” kata Juraini sambil menyeka peluh. Bidan desa ini tidak punya cukup peralatan. Juraini meminta Sumardi membawa Masrah ke puskesmas di Desa Liku, satu-satunya puskesmas di Kecamatan Paloh, malam itu juga.

Sumardi panik. Di luar cuaca sedang buruk. Angin kencang disertai ombak besar. Padahal warga kampung mesti segera membawa Masrah ke puskesmas yang jaraknya 90 kilometer atau sekitar 3 jam perjalanan melewati bibir pantai. Tak ada jalan, apalagi ambulans. Satu-satunya kendaraan yang bisa digunakan adalah sepeda motor. Tapi medannya akan sangat berat. “Jika menggunakan motor, bisa-bisa istri saya melahirkan di jalan,” ujar Sumardi.   

Tidak mau mengambil resiko. Sumardi memutuskan memilih jalur laut, meskipun jarak tempuhnya 3 jam lebih lama ketimbang lewat darat. “Tapi ini lebih aman,” tambah lelaki 38 tahun ini. Warga kampung pun bergegas menyiapkan perahu motor mesin 40 PK milik salah seorang warga. Karena darurat dan harus cepat, warga kemudian menambah lagi kecepatan mesin milik perahu menjadi 200 PK. Sehingga waktu tempuh bisa dipersingkat hingga 2 jam.  

Masrah dibopong sepanjang satu kilometer menggunakan tandu hingga sampai ke perahu. Di tengah ombak yang menggoyang-goyangkan perahu, Masrah terus merintih kesakitan. Bidan Juraini tampak gelisah. Masrah terus mengalami pendarahan. Namun ia hanya bisa menenangkan Masrah dan memberikan pertolongan sebisanya.

Sesampai di puskesmas Liku, pihak medis menyatakan tidak mampu menangani persalinan Masrah. Puskesmas itu tidak memiliki perlengkapan yang mencukupi. Mereka lantas merujuk Masrah ke rumah sakit Sambas. Kondisi istrinya sudah makin lemas. Padahal butuh waktu 4 jam lagi untuk sampai di rumah sakit. Sumardi tak membuang waktu, bergegas mencari mobil. Beruntung seorang warga yang tinggal tak jauh dari puskesmas mau menyewakan mobilnya.  

Mobil terus melaju di jalan yang rusak, seperti berlomba dengan waktu. Bila tak segera sampai ke rumah sakit dikuatirkan Masrah sulit tertolong. “Tapi bersyukur, meski sudah sangat lemah, istri saya masih mampu bertahan,” ujar Sumardi.

Malam harinya suara bayi terdengar dari ruang persalinan Rumah Sakit Sambas. Masrah melahirkan anak pertamanya dengan selamat. Tapi masalah belum berakhir di situ. Sumardi kesulitan membayar biaya persalinan. Uang tabungannya sebesar 3 juta rupiah sudah ludes untuk membayar perahu dan ganti biaya solar 100 liter, serta menyewa mobil. Beruntung sejumlah warga memberikan sumbangan sukarela.

Selain Sumardi, kondisi tidak jauh berbeda pernah juga terjadi pada Yono, warga lain. Bedanya, Yono masih bisa mengungsikan istrinya, Sari ke tempat keluarga di Desa Liku. Bidan Juraini, berdasarkan hitungannya, memperkirakan kelahiran Sari masih sebulan lagi. Agar tidak beresiko, Juraini menyarankan pada Yono agar segera membawa istrinya ke Desa Liku. “Kalau terlalu dekat, terlalu beresiko. Bisa-bisa seperti bu Masrah,” kata Juraini pada Yono.  

Yono membonceng istrinya melewati bibir pantai. Mengendarai motor di pasir lebih sulit daripada di jalan biasa. Saya harus hati-hati membawa istri saya,” cerita Yono. Di perjalanan sepeda motornya mogok, padahal masih tersisa 1 jam perjalanan. Yono tambah panik karena istrinya mengalami pendarahan. “Mungkin karena terkena goncangan saat dibonceng motor,” ujar Yono.
Beruntung pada saat itu ada dua pengendara motor melintas. Dari pertolongan mereka istri Yono bisa dibawa sampai ke puskesmas. Seminggu setelah itu, Sari melahirkan. Kelahiran ini 3 minggu lebih cepat dari waktu kelahiran normal. “Itulah kondisi di sini. Tak tersedianya jalan bisa bikin orang melahirkan lebih cepat,” ujar Yono, setengah bercanda.

Tak heran bila Yono merasa bersyukur. Meninggal dalam kondisi akan melahirkan bukanlah hal yang sulit ditemui di Desa Temajuk. Data Dinas Kesehatan Sambas, tahun 2010 saja sudah ada 32 ibu melahirkan dari Desa Temajuk yang dirujuk ke puskesmas dan rumah sakit. “2 orang diantara mereka meninggal dunia dalam perjalanan,” ujar Kasi Pelayanan Kesehatan Sambas, Rahma.

Berhubung akses jalan dari Desa Temajuk ke Kecamatan terisolasi, Rahma menyarankan minimal sebulan sebelum melahirkan sang ibu sudah berada di pusat kota. “Sehingga memasuki masa melahirkan bisa cepat ditangani,” ujar Rahma, menyarankan. Desa Temajuk hanya memiliki 2 orang petugas kesehatan: 1 orang mantri dan 1 bidan. Persediaan obat-obatan juga terbatas. Sementara tenaga dokter hanya bertugas di Kecamatan Paloh.

Problem yang dihadapi warga Desa Temajuk bukan hanya saat melahirkan saja. Mahyadi, mantan Kepala Badan Perwakilan Desa Temajuk pernah kehilangan nyawa anaknya, Yudi, 3 tahun lalu.  Saat itu anaknya yang baru berusia 8 tahun menderita demam tinggi. Dia membawa anak ke mantri kesehatan, namun si mantri angkat tangan. Dibantu oleh Kusmito, tetangganya, Mahyadi memutuskan membawa anaknya ke rumah sakit di Sambas dengan menggunakan sepeda motor. Yadi didudukkan di tengah, diapit oleh Mahyadi dan Kusmito.

Di tengah perjalanan, air laut mulai pasang. Ombak setinggi dua meter menggulung hingga ke dasar pantai. Praktis sepeda motor Mahyadi hanya bisa berlari dengan kecepatan 20 kilometer per jam karena jalan pasir mulai terendam air pasang. Ban motor kerap terbenam dalam pasir. Lamanya perjalanan membuat nyawa anak Mahyadi tidak bisa tertolong. Yudi menghembuskan nafas terakhir di atas sepeda motor.

Desa Temajuk merupakan daerah perbatasan paling barat di Kalimantan Barat. Dari ibu kota provinsi Pontianak butuh waktu 14 jam perjalanan darat untuk sampai ke desa ini. Temajuk berbatasan langsung dengan Telok Melano, Serawak, Malaysia.

Pada 1970an wilayah ini pernah menjadi tempat persembunyian Pasukan Gerakan Rakyat Serawak/ Persatuan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku) yang berusaha ditumpas militer Indonesia. PGRS/ Paraku adalah para pemberontak yang terkait konfrontasi dengan Malaysia.  “Sejak operasi Malaysia-Indonesia (Malindo) tahun 1987, anggota PGRS sudah tidak kelihatan lagi,” kata Marjuni, tokoh masyarakat Temajuk.

Pemerintah pusat kemudian menempatkan transmigran lokal di desa ini. Kebanyakan berasal dari Kecamatan Sungai Duri, Selakau, Pemangkat dan Tebas. Sejak itulah, Temajuk mulai dihuni. Setiap warga disediakan satu unit rumah sederhana dan lahan seluas 5 hektare lengkap dengan bibit tanaman, seperti buah rambutan, karet dan lada.

Tapi, penempatan warga di Desa Temajuk ini tanpa diiringi pembangunan infrastruktur jalan dan layanan kesehatan. Bahkan hingga puluhan tahun berikutnya, jalan yang diidam-idamkan belum juga terwujud. Keterisolasian desa membuat hidup terasa sangat sulit bagi 550 kepala keluarga atau 1.814 jiwa warga yang tinggal di desa itu. Derita warga semakin bertambah memasuki musim lamdas atau ombak besar yang terjadi pada Agustus-Nopember. Kapal nelayan tak bisa berlayar. Praktis tak ada penghasilan yang bisa diperoleh. Dan pada musim itulah, setiap tahun, warga mengalami krisis pangan.

Kapal pembawa sembako dari pusat kota ke Temajuk praktis tidak bisa beroperasi. Sementara jalur darat sama sekali tidak bisa dilewati karena air pasang laut. Pemkab Sambas harus menyalurkan bantuan sembako berupa 5 ton beras, mie instan dan ikan kalengan kepada warga Temajuk menggunakan kapal berukuran besar.

Selain krisis pangan, yang paling ditakutkan saat lamdas adalah bila ada warga yang sakit atau melahirkan. “Kami jelas tak bisa membawanya ke rumah sakit. Hanya bisa dirawat seadanya di desa,” ujar Marjuni. “Mau berobat susah, mau jual hasil laut juga susah. Ekonomi jadi tambah sulit. Warga yang miskin akan terus miskin.

Sebenarnya penghasilan warga cukup besar. Sekitar 70 persen warga Temajuk adalah petani lada. Sisanya adalah nelayan dan berdagang. Rata- rata pendapatan ekonomi warga disana tinggi, sekitar Rp 1-7 juta perbulan, terutama saat harga lada naik. Namun, tingginya harga lada akan sia-sia saja kalau hasil panen tak bisa dibawa keluar.

Warga Temajuk bisa masuk kampung Telok Melano, Malaysia tanpa melalui pos pemeriksaan lintas batas. Meski hanya berjarak beberapa kilometer, Desa Temajuk dan Telok Melano sangat bertentangan. “Kalau kita masuk ke seberang (Malaysia-red), kita akan lihat jalan mereka halus dan lebar-lebar. Di sini (Temajuk) jalan setapak pun tidak ada,” kata Marjuni membandingkan.

Marjuni bercerita, sebulan sekali pihak kerajaan rutin mengirimkan tenaga dokter dan perawat ke warganya menggunakan helikopter. Mulai dari pemeriksaan tes darah hingga pada pemberian obat secara gratis untuk sebulan. Seperti pemberian vitamin, obat demam, flu dan lainnya. Pelayanan seperti itu tidak didapat oleh warga Temajuk. Ketika sedang jatuh sakit, warga panik karena tidak ada pelayanan kesehatan yang baik di desanya.

Kepala Desa Temajuk Mulyadi pernah mengerahkan puluhan warga mengawal perjalanan ibu melahirkan sampai ke puskesmas Kecamatan Paloh dengan cara ditandu melalui bibir pantai. Ketika itu ombak sedang besar. “Bayangkan, 30 kilo (meter) kami berjalan. Kasihan orang yang sakit bisa tambah sakit.”

Pemkab Sambas pernah memberikan bantuan speed boat. Namun kendaraan air itu tidak bisa difungsikan warga. Saking kesalnya Mulyadi pernah minta Pemkab Sambas untuk menarik kembali bantuan speed boad itu. “Speed boat itu terlalu kecil untuk membawa pasien. Jadi tidak pernah dipakai,” jelas Marjuni.

Pejabat Pemkab Sambas sudah berulang kali berkunjung ke sana. Mantan Bupati Sambas, Burhanuddin A Rasyid saat masih menjabat berjanji menghapuskan status daerah terisolir bagi desa Temajuk.  Tapi hingga masa jabatannya usai belum terealisasi. Kepala Dinas Bina Marga Sambas, Ferry Madagaskar sudah memasukkan usulan bantuan dana pemerintah pusat untuk membangun jalan perbatasan Kecamatan Paloh, Desa Temajuk-Cermai sepanjang 34 kilometer, dengan lebar 6 meter. Tapi ia belum bisa pastikan kapan realisasinya.

Ketua Lembaga Pengkajian Pembangunan dan Pemberdayaan Daerah Perbatasan, Dedi S Helmi menuding pemerintah tak serius mengurus perbatasan. Pembangunan jalan paralel Sebubus-Aruk sepanjang 48 kilometer, dan Cermai –Sui Sumpit- Temajuk sepanjang 38 kilometer hingga kini belum bisa terealisasi. “Sehingga wajar jika warga perbatasan bertanya, siapa yang bertanggung jawab membangun wilayah perbatasan dan pembinaan masyarakatnya,” kata Dedi.

Kepala Dinas Kesehatan Sambas, dr Nyoman Nukarca mengatakan semua persoalan bermuara pada minimnya anggaran untuk peningkatan pelayananan kesehatan. Seperti bantuan dua unit speed boad mesin 40 PK sampai sekarang tidak berfungsi karena tidak memiliki dana operasional jika dijalankan setiap harinya. Belum biaya distribusi obat- obatan ke daerah terisolir dan pedalaman. “ Jika alokasi dana cukup, pelayanan kesehatan akan baik,” kata Nyoman.

Anggota DPR RI Komisi IX Dapil Kalbar, Karolin Margret Natasa menuding Departemen Kesehatan tidak jelas mengeluarkan program pelayanan kesehatan kepada warganya di daerah terpencil dan terisolir. Seperti penempatan tenaga dokter PTT di daerah pedalaman. Satu sisi langkah itu baik, tapi penempatan tenaga dokter menggunakan sistem kontrak dalam setahun. “Lepas itu mereka kembali lagi ke tempat tugas asal,” kata Karolin.  Begitu juga penempatan fisik puskesmas di berbagai daerah keberadaannya sulit diakses oleh warga yang tinggal di pedalaman. Padahal bisa saja Depkes membuat program dokter terbang atau menempatkan dokter terapung yang bisa menjangkau puskesmas di daerah pedalaman.”

Begitu juga dengan program Jaminan Persalinan (Jampersal) atau biaya persalinan gratis. Kementerian Kesehatan tidak melakukan dengan perencanaan yang baik. Pembahasan program itu telah dilaksanakan sejak tahun lalu, tetapi petunjuk teknis baru keluar pada April 2011.

”Bagaimana dengan sosialisasinya? Semuanya mendadak. Pada awal pembahasan anggaran tidak ada. Mendekati ketok palu baru ada program Jampersal. Dana yang diperoleh Rp 1,2 triliun. Padahal seharusnya bisa lebih dari itu,” ujar Karolin dengan nada keras.

Warga Temajuk masih menagih janji perbaikan infrastruktur dan pelayan kesehatan. Selama harapan itu belum terpenuhi negara sudah melakukan pembiaran kepada warganya. Komisioner Komnas HAM Indonesia, Yosep Adi Prastyo ketika ditemui di Jakarta menyebutkan, hilangnya nyawa warga karena daerahnya terisolir adalah dosa negara dan masuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Kembali ke Desa Temajuk, warga bernama Sumardi hanya berharap akses jalan segera dibangun. Supaya hidup tidak terus menderita. **

Terbit Borneo Tribune Selasa 10 Mei 2011

The floating homes of Sambas



Agus Wahyuni
Borneo Tribune

When a big flood hit Sambas in December 2008, hundreds of houses built on land were inundated and their owners evacuated, while the traditional rumah lanting or floating-platform houses and their occupants came out of this disaster unscathed.

Designed by the city’s forefathers, rumah lanting are almost a relic of the past these days, with Sambas slowly losing its reputation as West Kalimantan’s waterfront city.

Sambas is situated at the junction of two rivers, Teberau and Sambas, 250 kilometers from Pontianak, the capital of West Kalimantan.

Standing magnificently downstream of both rivers is Alwatzikhoebillah Palace, the center of a former Islamic kingdom founded by Sultan Muhammad Tsafiuddin, who used rivers for trading purposes.

One can still find rumah lanting along the Sambas River. However, there numbers have dwindled. While over 400 units were properly maintained in the past, data from the Sambas Culture and Tourism Office shows there are only about 50 left.

One of the owners of a rumah lanting who has held on to his traditional house despite the rapid pace of urban civilization is Hatta (58), who built his floating home in 1983.

He chose temau for his house’s foundation as this type of wood can withstand dozens of tons.


Fun and games: Children play with water on a platform built on a river in West Kalimantan. JP/NurhayatiHe used 8-meter-long temau logs that have a circumference of about 150 centimeters. Today, according to Hatta, logs of temau wood with these kinds of measurements are difficult to find because of deforestation.

A rumah lanting normally measures 6 by 4 meters, with foundations made up of 10-20 temau logs neatly arranged on the surface of river water and bundled together with the help of steel rods. It took five to six workers to complete his house, which cost about Rp 2 million and required no land except some riverside space.

Hatta obtained the temau wood from hardwood loggers at Rp 30,000-50,000 per block.

“The wood didn’t cost much at the time [I built my house],” said Hatta. The wood was then transported on a raft along Kumba, Seluas and Jagoi Babang rivers in the border area between Sambas and Bengkayang, for three days and nights.

When the government gave more autonomy to regions, the regional administrations in Kalimantan prioritized the development of land infrastructure to facilitate access by motor vehicles. Owners of rumah lanting then purchased land, built houses on it with permanent foundations, and moved out of their rumah lanting.

One rumah lanting owner who did so is Bulyan (62), a resident of Tumok Manggis village, Sambas district, Sambas regency.

In 2004, he sold his rumah lanting for Rp 2.5 million and spent the money on building a house on land. Once a logger, he now runs a rubber estate in Sejangkung district.

Nowadays, it only takes him 2 to 3 hours to transport the rubber from his plantations to the main point  of export, compared to 7 to 8 hours by motorboat.

Besides, his house built on land is more spacious. But some owners of houses built on land complain about the limited access to water for washing clothes and for sanitary purposes during the dry season.

The owners of houses built on land must rely on rainfall for well water during the dry season, since they no longer live on the river.


lanting dwellers don’t need to bother about water as they live above river streams. Sadiah (32), who lives in a rumah lanting in the same village, only needs to go to her porch to wash or go to the bathroom. She doesn’t need fans or air conditioning as her house is always cool.

Her relatives from Pontianak who stayed with her once commented on the cool temperatures in her house. They also praised Sadiah’s residence for being mosquito free.

“Maybe it’s because there is water flowing below my house, so mosquitoes can’t lay eggs there,” she said.

However, when motorboats pass along or strong winds blow, rumah lanting settlements rock, which prompts their occupants to put their furniture and other appliances in higher places.

“They may fall into the river [otherwise],” added Sadiah.

They also have to keep an eye on their children to make sure they don’t fall in the water. But those above the age of four can generally swim as their parents will have taught them by that age.

Yet Sadiah worries about some of the rotting foundations at the back of her house, which are causing the building to tilt. As temau wood is hard to find, her husband has used drums to support the floating structure, which have to be replaced every three years because of rust.

She would like to have a house built on land, but her spouse’s income from fishing is barely enough to make ends meet, let alone purchase land to build a house.

In 1990, when 40 to 50 rumah lanting units were demolished for a provincial event in Sambas, Sadiah was on of the few who kept her rumah lanting, while the other rumah lanting owners followed the regency administration’s instruction and moved to land dwellings.







A lesson in history
An imposing concrete building decorated with Malay carvings stands out on Jl. Raya Sambas. This repository for all things cultural and historical about Sambas is also home to Yayasan Pesisir (Coastal Foundation), an institution that was set up by Sambas cultural experts.

In the grand building are hundreds of historical objects, left behind by the Sambas Sultanate, the Dutch colonial government and the Mongolian kingdom. The collection includes cannons, firearms, swords, shields and old manuscripts.

The owner of the collection and chairman of Yayasan Pesisir Sambas, Mulam Kushaeri, is a fountain of knowledge when it comes to rumah lanting.

In the Sambas Sultanate and during Dutch colonial times, rumah lanting settlements were transit homes for Dayaks, while Malays lived in the downtown area. The upstream region used to be a forest area.

When the Dayaks went to Sambas to sell estate and farm produce, they would typically stay in rumah lanting they had built because it would take days to return upstream to their homes on foot. The entrance and porches of their homes were built facing the river to facilitate their sale of commodities to passing vessels.

Former monarchs also made rumah lanting weekend getaways. Regional officials would often stay in rumah lanting on weekends, to relax and enjoy the natural atmosphere of river surroundings.

Sambas River was once a thriving commercial lane, as can be seen by the two-story building on Jl. Kapung Lorong Sambas, some two kilometers from the city hub. Once a customs and port master’s office, the building, which is currently falling apart, is now devoid of activity.

It is believed the Dutch government’s decision to develop roads and bridges led to river commerce activity to dwindle in the Sambas kingdom, as large vessels could not berth in the river.

In Sebawai district, for instance, a Dutch colonial vessel sank in the middle of the river. Shortly after the incident, the people of Sambas created a song entitled “Kapal Delonnal”, highlighting the ship had been sunk on purpose to prevent other foreign vessels from passing the lane.

The Sambas kingdom’s economy worsened as a result, as it used to rely on commodities sold on the local market.

Nowadays, river transportation is no longer a priority for the Sambas regency administration, which has prioritized the development of land infrastructure instead. A significant portion of the regional budget is poured into roads, rather than river transportation.

Some residents are upset with the regional administration of Sambas’ policy of leveling rumah lanting settlements along the Sambas River, arguing it disregards the history of lanting homes.